Senin 30 Nov 2020 13:23 WIB

Restrukturisasi Kredit Menopang Sektor Keuangan Saat Pandemi

Sejak awal pandemi OJK telah mengeluarkan kebijakan restrukturisasi kredit.

Rep: Novita Intan/ Red: Nidia Zuraya
Restrukturisasi kredit
Foto: Republika
Restrukturisasi kredit

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sektor keuangan Indonesia dinilai masih stabil dan sehat di tengah pandemi Covid-19. Sejumlah indikator utama, mulai dari kualitas aset hingga likuiditas, juga masih terjaga. 

Direktur Riset Core Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Piter Abdullah mengatakan, hal tersebut tak terlepas dari kerja pengawasan dan berbagai kebijakan yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Menurut dia, sejak awal pandemi ini OJK bergerak cepat dengan mengeluarkan kebijakan restrukturisasi kredit. 

Baca Juga

"Kebijakan restrukturisasi kredit menahan lonjakan NPL (non performing loan), yang kemudian ikut menjaga likuiditas dan profitabilitas perbankan, serta lembaga keuangan nonbank,” ujarnya kepada Republika.co.id, Senin (30/11).

Menurutnya ketahanan sektor keuangan memunculkan kepercayaan pelaku pasar, yang mendorong bangkitnya kembali pasar modal. Tercatat pertumbuhan kredit terkontraksi sebesar 0,47 persen (yoy) per Oktober 2020. 

"Kontraksi kredit perbankan lebih banyak disebabkan menurunnya kredit modal kerja dampak masih tertekannya permintaan pada sektor usaha," ucapnya.

Piter menyebut pertumbuhan kredit memang rendah akibat melambatnya sektor riil di tengah pandemi, sehingga permintaan kredit menurun drastis. “Dan perbankan sangat berhati-hati dalam menyalurkan kredit. Perbankan fokus dalam menjaga kualitas kredit dan mengutamakan restrukturisasi kredit ketimbang menyalurkan kredit baru,” jelasnya. 

Menurutnya pertumbuhan kredit yang rendah merupakan hal yang normal di tengah situasi resesi saat ini. Hal tersebut justru menunjukkan kehati-hatian perbankan. 

“Ini bukan suatu yang buruk. Justru memaksa bank menyalurkan kredit di tengah pandemi lebih berisiko dan membahayakan perbankan dan sistem keuangan,” kata Piter. 

Sementra Ekonom Universitas Indonesia (UI) Ninasapti Triaswati menambahkan pertumbuhan kredit yang negatif menunjukkan kepercayaan pasar masih rendah akibat pertumbuhan ekonomi yang juga terkontraksi. 

“Salah satu penyebab utama adalah belum jelasnya kebijakan untuk mengatasi pandemi COVID-19, terutama di kota-kota besar di Jawa (Jabodetabek, Semarang, wilayah Surabaya Raya, Bandung) yang merupakan sumber pertumbuhan ekonomi utama di Indonesia,” ucapnya.

Untuk mendorong permintaan, Nina berpendapat, pemerintah perlu memperjelas langkah implementasi dari kebijakan mengatasi pandemi Covid-19. “Selain itu juga harus mendorong pemberian stimulus kepada sektor-sektor yang bisa memacu pertumbuhan PDB lebih cepat lagi,” tambahnya. 

Berdasarkan data OJK, likuiditas dan permodalan perbankan juga berada pada level yang memadai. Rasio alat likuid/non-core deposit dan alat likuid/DPK per 18 November 2020 terpantau pada level 157,57 persen dan 33,77 persen, di atas threshold masing-masing sebesar 50 persen November dan 10 persen. 

Profil risiko dan permodalan sektor jasa keuangan dalam kondisi yang terjaga terlihat dari Oktober 2020, rasio NPL gross tercatat sebesar 3,15 persen (NPL net: 1,03 persen) dan Rasio NPF Perusahaan Pembiayaan sebesar 4,7 persen. 

Terjaganya NPL dan NPF banyak ditopang kebijakan restrukturisasi kredit dan pembiayaan yang realiasasinya hingga 26 Oktober, restrukturisasi kredit mencapai Rp 932,4 triliun untuk 7,53 juta debitur perbankan. Terdiri dari restrukturisasi kredit UMKM Rp 369,8 triliun untuk 5,84 juta debitur dan non UMKM senilai Rp 562,5 triliun untuk 1,69 juta debitur.

Realisasi restrukturisasi pembiayaan hingga 17 Nopember mencapai Rp 181,3 triliun untuk 4,87 juta kontrak. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement