Senin 30 Nov 2020 15:21 WIB

Merapi Beri Tanda Dekati Erupsi

Aktivitas guguran yang terus meningkat menunjukkan mendekatnya waktu erupsi.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Agus Yulianto
Gunung Merapi Pascaerupsi. Asap solfatara masih terlihat di puncak Gunung Merapi, Yogyakarta.
Foto: Wihdan Hidayat/ Republika
Gunung Merapi Pascaerupsi. Asap solfatara masih terlihat di puncak Gunung Merapi, Yogyakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Aktivitas Gunung Merapi masih berstatus siaga (level III). Sejak status itu ditetapkan 5 November 2020, aktivitas yang dikeluarkan masih terus menunjukkan peningkatan yang turut menunjukkan semakin dekatnya Gunung Merapi mengalami erupsi.

Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG), Hanik Humaida mengatakan, aktivitas Merapi menunjukkan ke arah terjadinya erupsi. Mulai dari data seismik maupun keluaran gas dan deformasi yang masih tinggi.

"Serta, aktivitas guguran yang terus meningkat. Hal ini menunjukkan mendekatnya waktu erupsi," kata Hanik dalam webinar yang digelar UGM-Kagama, Ahad (29/11).

Tentu, tidak ada yang bisa memprediksi secara pasti kapan erupsi Gunung Merapi akan terjadi. Meski begitu, Hanik memperkirakan, erupsi Gunung Merapi kali ini jika benar-benar terjadi tidak akan sebesar serupsi yang dikeluarkan pada 2010 lalu.

Untuk itu, dia mengimbau, masyarakat yang tinggal di sekitaran Gunung Merapi untuk tetap siaga memperhatikan aktivitas terkini. Serta, mengikuti arahan-arahan dari pemerintah setempat agar jika erupsi terjadi tidak memakan korban jiwa.

"Jangan terpengaruh informasi-informasi yang tidak jelas sumbernya," ujar Hanik.

Kepala Pusat Studi Bencana UGM, Dr. Agung Harijoko menuturkan, Gunung Merapi pernah mengalami erupsi eksplosif dengan tipe sub plinian hingga plinian, dan erupsi besar terjadi pada 2010 dan 1872. Jangka perulangannya terjadi kurang lebih 100 tahun.

Untuk mengurangi resiko terhadap dampak erupsi Merapi, upaya-upaya mitigasi sangat diperlukan. Terlebih, ada sejarah pada Kerajaan Mataram Kuno abad 8 dan 9, saat infrastruktur seperti candi tidak mampu menyelamatkan dan tertutup bekas erupsi.

"Dulu tidak ada mitigasi, sehingga beberapa candi tertutup erupsi. Manusianya ketika itu berpindah ke Jawa Timur untuk menyelamatkan jiwa," kata Agung.

Namun, dari pengalaman itu semua melakukan perbaikan. Sebab, dari masa lalu itu perencanaan pembangunan saat ini harus memperhatikan sisi kebencanaan dengan memahami sejarah erupsi dan mengetahui daerah mana saja yang terancam erupsi.

Deputi Bidang Pencegahan BNPB, Lilik Kurniawan menilai, ketangguhan dan ketahanan masyarakat di sekitar Gunung Merapi kini sudah sangat baik. Namun, tetap perlu terus didampingi dan mendapat dukungan, termasuk dari BNPB maupun BPBD.

"Kita sudah membuat daftar logistik dan peralatan, termasuk pendanaan, membantu kesiapan rumah sakit dan puskesmas. Kita mengusahakan agar tidak ada korban saat erupsi," ujar Lilik.

Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo menambahkan, mereka terus melakukan koordinasi dengan pemkab-pemkab sekitar Merapi seperti Magelang, Klaten dan Boyolali. Hal itu dirasa perlu terus dilakukan untuk mengantisipasi dampak erupsi dan wedus gembel.

Untuk hindari adanya korban, mereka melakukan mitigasi pengurangan risiko bencana yang disiapkan dari awal. Semua itu akan menambah kearifan yang dimiliki masyarakat sekitar Gunung Merapi untuk mengenali tanda-tanda waktu tepat melakukan evakuasi.

Selain itu, ada tantangan yang besar mengingat saat ini pandemi Covid-19 masih berlangsung. Karenanya, mitigasi dan penanganan dampak bencana nanti perlu dilaksanakan dengan tepat agar mampu mencegah penularan Covid-19.

"Saya kira ini pekerjaan rumah yang tidak mudah, masa pandemi ini lokasi pengungsi memang harus dibuat berjarak dan memisahkan dengan kelompok rentan," ujar Ganjar. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement