REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Komisi III DPR menyoroti sejumlah pasal yang ada dalam Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pelibatan TNI dalam mengatasi Aksi Terorisme. Salah satunya Pasal 3 yang nantinya berpotensi menimbulkan dualisme kewenangan antara aparat penegak hukum dan intelijen.
Ketua Komisi III DPR Herman Herry mengatakan, potensi dualisme kewenangan dapat timbul dari rancangan perpres tersebut. Khususnya, antara TNI dan aparat penegak hukum dalam penanganan terorisme.
"Kegiatan penangkalan (oleh TNI) berpotensi bergesekan atau bersinggungan dengan kewenangan yang dimiliki oleh pihak lain, yakni aparat penegak hukum dan intelijen berdasarkan undang-undang," ujar Herman, Senin (30/11).
Untuk itu, perlu adanya pengaturan yang lebih rinci terhadap keterlibatan TNI. Sebab, tugas yang meliputi penangkalan dan pemulihan aksi terorisme merupakan kewenangan BNPT, tertuang dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
"Perlu adanya pengaturan lebih rinci dengan batasan-batasan yang jelas," ujar Herman.
Pandangan tentang dualisme ini juga termuat dalam surat pandangan Komisi III DPR RI soal Perpres Pelibatan TNI. Republika sudah mengonfirmasikan salinan surat bernomor 362-DW/KOM.III/MP.II/XI/2020 kepada Wakil Ketua Komisi III DPR Pangeran Khairul Saleh. Khairul membenarkan surat tersebut.
Surat itu menyebutkan Komisi III DPR RI memberikan tiga pendapat perihal Pasal 3 dari perpres tersebut. Isi pasal 3 tersebut, yakni:
Poin a berbunyi, “Kegiatan operasi intelijen memerlukan batasan-batasan yang lebih jelas. Karena, penyelidikan bukan tugas pokok TNI”.
Poin b, “Kegiatan operasi informasi harus dijelaskan bagaimana cara mendapatkan informasi tersebut, karena harus disesuaikan dengan prinsip hak asasi manusia (HAM) dan peraturan perundang-undangan”.
Poin c, “Frasa “kegiatan dan/atau operasi lainnya” dalam lingkup UU Terorisme ini juga menimbulkan multitafsir dan perlu mendapatkan pengaturan yang lebih tegas mengenai bentuk dan batasannya”.
Dalam pendapat terkait Pasal 3 ini, Komisi III ingin menyampaikan bahwa perpres tersebut berpotensi menyebabkan persinggungan kewenangan yang dimiliki oleh pihak lain, yakni aparat penegak hukum dan intelijen. Hal ini berpotensi menimbulkan dualisme kewenangan dan pertentangan hukum.
Sebelumnya, DPR dan pemerintah sepakat untuk membentuk dewan pengawas (Dewas) yang akan mengawasi pelibatan TNI dalam penanganan terorisme. Dewan akan terbentuk setelah Peraturan Presiden (perpres) tentang Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme terbit.
“Pembentukan dewan pengawas dari Komisi I, kalau dari Komisi III perlu kehati-hatian dalam penanganan TNI dalam tindakan preventif,” kata Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (25/11).
Sementara itu, Yasonna mengatakan, ini menjadi perpres satu-satunya yang memerlukan pertimbangan DPR sebelum menerbitkannya. Pemerintah juga sudah berkonsultasi dengan Komisi I dan III perihal perpres pelibatan TNI dalam penanganan terorisme ini. Hasil dari konsultasi tersebut, kata Yasonna, akan segera dibahas oleh pemerintah.
“Saya akan surati Pak Menkopolhukam nanti, karena perpres ini telah kami bahas secara ringkas di kementerian lembaga di bawah kepemimpinan Kemenkopolhukam,” ujar Yasonna.