REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ketika seorang Muslimah dan seorang Muslim telah merajut mahligai rumah tangga, maka terdapat konsekuensi hukum bagi keduanya yang harus dipahami dan dijalani. Salah satunya adalah anggapan mengenai larangan keluar rumah bagi istri tanpa seizin suami. Benarkah suami boleh berlaku seperti itu?
Syekh Muhammad Al-Utsaimin dalam kitabnya berjudul Shahih Fiqih Wanita menjelaskan, pada hakikatnya seorang suami memang berhak untuk melarang istrinya keluar dari rumah. Hal ini berlandasrkan dalil Alquran dalam surat Yusuf penggalan ayat 25. Allah SWT berfirman:
وَٱسْتَبَقَا ٱلْبَابَ “Wastabaqaa al-baaba.” Yang artinya: “Dan kedua-duanya mendapati tuan wanita itu (suaminya) di muka pintu.” Sehingga dijelaskan bahwa secara hakikat, sejatinya suami boleh melarang istri keluar dari rumah tanpa seizinnya terlebih dahulu.
Namun demikian, maksud pelarangan suami atas istri yang hendak keluar rumah harus didasari unsur kemaslahatan terhadap istri maupun dirinya sendiri. Suami juga dilarang untuk melarang istri keluar rumah jika yang bersangkutan hendak menjalankan kebiasaan-kebiasaan baik aktivitas di luar rumah.
Hal ini sebagaimana hadis Nabi Muhammad SAW: لا تَمْنَعُوا إِمَاءَ الله مَسَاجِدَ الله “La tamna’u imaa-allahi masaajidallahi.” Yang artinya: “Janganlah kalian melarang hamba-hamba Allah (untuk mendatangi) masjid Allah.” Karena datang ke masjid dalam kondisi normal serta dengan tujuan ibadah merupakan hal yang baik, hal ini dianalogikan sebagai kegiatan baik yang tidak boleh dilarang oleh suami.
Ditegaskan bahwa apabila seorang Muslimah bersuami dilarang suaminya datang ke masjid untuk beribadah, maka suami tidak memiliki hak untuk itu. Kecuali jika ada kekhawatiran yang meyakinkan terhadap istri, maka suami boleh melarang istri.
Adapun sabda Rasulullah SAW tersebut seperti kerumunan-kerumunan lainnya yang berlaku khusus pada hal-hal yang terdapat pengkhususannya. Jika dinyatakan bahwa zamannya rusak dan orang-orang jahat kerap memperdayai kaum wanita, maka tidak berdosa hukumnya jika suami melarang hal itu. Kecuali jika istri keluar berjalan bersamanya untuk pulang dan pergi.
Larang istri ibadah
Ibadah sendiri perlu dipahami dengan membagi kedua hukumnya, yakni ibadah wajib dan ibadah sunah. Dalam ibadah wajib, suami tidak berhak melarang istri karena jika dia melarangnya maka ini akan berimplikasi pada ketaatan terhadap makhluk dalam kemaksiatan terhadap Sang Pencipta. Dan hal ini jelas tidak dibolehkan.
Misalnya seorang suami berkata pada istrinya untuk tidak boleh menjalankan puasa Ramadhan, sang istri boleh tidak mendengarkan suaminya. Istri tetap harus berpuasa karena ibadah puasa di bulan Ramadhan merupakan puasa yang sifatnya wajib.
Begitupun bila suami melarang istri untuk shalat lima waktu ataupun menunaikan zakat, istri wajib menentangnya dan tetap harus menjalankan kewajiban ibadah kepada Allah SWT.
Namun demikian, jika ibadah itu merupakan ibadah yang bersifat sunah atau wajib yang waktunya cukup luag, maka suami boleh melarang istrinya. Istri dalam hal ini tidak boleh menyibukkan diri untuk mengerjakan ibadah sunah sementara melalaikan kewajiban ibadah terhadap suaminya, baik itu mendengarkan perintah atau sekadar menemaninya bersenda-gurau.
Hal ini sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW: لا تَصُومُ إمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلا بِإِذْنِهِ “Laa tashumuu imraatun wa ba’luha syaahidun illa bi-idznihi.” Yang artinya: “Hendaknya seorang wanita tidak berpuasa sementara suaminya ada bersamanya, kecuali dengan seizinnya.”
Dengan demikian, larangan suami atas istri dalam hal apapun perlu dilihat dari konteks serta nilai dari ibadah dan juga niat dari keduanya yang saling bersangkutan.