Selasa 01 Dec 2020 05:46 WIB

Banyak Sekolah Belum Siap Laksanakan Pembelajaran Tatap Muka

Berdasarkan data KPAI, hanya 16,32 persen sekolah yang siap pembelajaran tatap muka.

Siswa mengerjakan soal penilaian akhir semester (PAS) tahun ajaran 2020/2021 menggunakan layanan Jakwifi di posyandu kawasan Kelurahan Galur, Jakarta, Senin (30/11). Ujian penilaian akhir semester (PAS) tahun ajaran 2020/2021 hari ini mulai dilaksanakan hingga 10 Desember mendatang di sejumlah sekolah di Jakarta dengan metode pengerjaan dilakukan di rumah secara daring. Republika/Thoudy Badai
Foto: Republika/Thoudy Badai
Siswa mengerjakan soal penilaian akhir semester (PAS) tahun ajaran 2020/2021 menggunakan layanan Jakwifi di posyandu kawasan Kelurahan Galur, Jakarta, Senin (30/11). Ujian penilaian akhir semester (PAS) tahun ajaran 2020/2021 hari ini mulai dilaksanakan hingga 10 Desember mendatang di sejumlah sekolah di Jakarta dengan metode pengerjaan dilakukan di rumah secara daring. Republika/Thoudy Badai

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Inas Widyanuratikah, Mabruroh

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) telah melakukan pemeriksaan terhadap 49 sekolah di 21 kabupaten/kota di delapan provinsi di Indonesia. Pemeriksaan tersebut dilakukan di seluruh provinsi di Jawa dan sejumlah provinsi di luar Jawa seperti Bengkulu dan Nusa Tenggara Barat.

Baca Juga

Berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan KPAI, hanya 16,32 persen sekolah yang siap melakukan pembelajaran tatap muka. Padahal, berdasarkan SKB empat menteri terbaru, pemerintah pusat membolehkan daerah untuk kembali membuka sekolah tanpa memperhitungkan zonasi risiko Covid-19 mulai Januari 2021.

"Dari 49 sekolah di delapan provinsi yang ditinjau KPAI menunjukkan fakta bahwa sekolah sebenarnya belum siap terkait infrastruktur dan protokol kesehatan, terutama SOP adaptasi kebiasaan baru di satuan pendidikan," kata Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti dalam Rapat Koordinasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tentang hasil pengawasan penyiapan pembelajaran tatap muka pada masa pandemi, Jakarta, Senin (30/11).

Retno mengatakan bahwa pengawasan yang dilakukan terhadap 49 sekolah di 21 kabupaten/kota dan delapan provinsi selama enam pekan itu mengawasi persiapan sekolah, baik secara infrastruktur dan protokol kesehatan, menjelang rencana PTM pada awal tahun depan. Hasil pengawasan yang dilakukan terhadap persiapan infrastruktur menunjukkan bahwa 100 persen sekolah memang telah menambah jumlah wastafel.

"Dari 49 sekolah yang kami datangi semuanya menambah wastafel, meski sebagian belum memenuhi rasio dengan jumlah peserta didik," kata Retno.

Berikutnya, 100 persen sekolah juga memiliki pengukur suhu, meski jumlahnya juga belum mempertimbangkan rasio anak yang datang berbarengan pada pagi hari. Selain itu, 100 persen sekolah yang dipantau juga sudah menerapkan kewajiban memakai masker. Bahkan ada tulisan-tulisan untuk menerapkan protokol kesehatan di sekolah.

"Namun saat pengawasan, KPAI justru menemukan guru-guru yang tidak menggunakan masker atau meletakkan masker di dagu atau digantung di leher dan bahkan di atas kepala," kata dia.

Masih dari hasil pengawasan, KPAI juga menemukan bahwa hanya 14,28 persen sekolah yang menyiapkan cairan antiseptik dan hanya 8,16 persen sekolah menyiapkan ruang isolasi sementara. Sedangkan, hasil lainnya menunjukkan bahwa hanya 40,81 persen sekolah yang menyiapkan tanda jaga jarak dan hanya 6,1 persen sekolah yang menyiapkan modul pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang dibuat secara mandiri oleh guru.

Sementara itu, hasil pengawasan terhadap penerapan protokol kesehatan di sekolah dalam persiapan PTM Semester Genap menunjukkan bahwa hanya 4,8 persen sekolah yang melakukan rapid test atau tes cepat untuk seluruh guru dan karyawan dan siswa yang akan melaksanakan PTM dengan biaya yang ditanggung oleh Pemda. Contohnya seperti yang terjadi di Solo dan Madiun.

Kemudian, mereka juga menemukan baru 4,08 persen sekolah saja yang sudah menempelkan protokol di lingkungan sekolah.

"Berikutnya, hanya 6,12 persen sekolah yang sudah menyusun protokol kesehatannya. Tapi 93,88 persen (lainnya) hanya menyusun tiga protokol kesehatan, yaitu kedatangan, selama di sekolah dan kepulangan," kata Retno.

Hasil pengawasan KPAI juga hanya menemukan 20,40 persen sekolah yang menyosialisasi protokol kesehatan kepada guru, orang tua dan siswa dengan 79,60 persen lainnya belum. Disusul dengan penemuan 8,16 persen Dinas Pendidikan yang melakukan koordinasi dengan Dinas Kesehatan (Dinkes) untuk penyiapan buka sekolah.

Sementara itu, sekolah yang melakukan pemetaan terhadap warga sekolah yang memiliki komorbid baru sekitar 8,16 persen dari total 49 sekolah yang diawasi di lapangan.

Atas temuan di atas, KPAI menyarankan agar sebelum sekolah dibuka kembali, perlu diadakan uji coba terlebih dulu. Uji coba yang dilakukan dengan menyertakan jumlah siswa yang lebih sedikit.

"Uji coba memang penting, jadi nanti Januari pun yang tidak pernah uji coba harus diuji coba dulu," kata Retno.

Berdasarkan SKB Empat Menteri yang terbaru, ditetapkan bahwa jumlah siswa dalam kelas yang diperbolehkan adalah maksimal 50 persen. Retno mengatakan, di dalam masa uji coba, bisa dibuat maksimal isi siswa perkelasnya sebanyak 25 persen.

Selain itu, siswa yang diuji coba sebaiknya berasal dari jenjang kelas yang paling tinggi. Menurutnya, jika jenjang kelas yang paling tinggi dipastikan sudah tertib, maka adik-adik kelasnya akan mengikuti.

"Mulailah dengan kelas yang paling atas. Karena kelas yang paling atas itu akan dicontoh oleh yang bawah-bawahnya," kata Retno menegaskan.

Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah menyatakan, mendukung upaya pemerintah mengizinkan pembelajaran tatap muka dalam situasi pandemi. Namun, ia mengimbau agar sekolah yang belum siap untuk tidak memaksakan diri mengikuti sistem pembelajaran tatap muka.

"Kalau satu sekolah belum siap ya enggak usah dipaksakan," kata Unifah Rosyidi melalui sambungan telepon, Ahad (29/11).

Menurut Unifah, rencana pemerintah membuka kembali sekolah mulai Januari 2021 telah sejalan dengan harapan para guru, orangtua dan juga siswa.  Hanya saja, Unifah menekankan agar kebijakan tersebut dibarengi dengan peningkatan kehati-hatian dari pihak sekolah, orang tua dan para peserta didik.

"Kami mendukung karena memang itu harapan dari para guru, orang tua dan siswa tetapi, tetap dengan sangat kehati-hatian yang tinggi dan juga kepala daerah, orangtua, guru diajak bicara disiapkan situasinya keadaanya, dan pertimbangan utamanya kesehatan," jelas Unifah.

Sedangkan mengenai enam poin daftar periksa yang harus dipenuhi sekolah menurutnya adalah syarat minimum dari Kementerian untuk sekolah-sekolah yang ingin melaksanakan pembelajaran tatap muka. Pemerintah Daerah dan Dinas Pendidikan setempat, menurutnya lebih mengetahui kondisi di daerah masing-masing, apakah perlu menambahkan poin tersebut.

"Enam itu kan daftar itu minimum dari pemerintah ya kalau mau dibuka harus ikut daftar periksa ini. Jadi yang mengetahui tambahan tidaknya ya Kepala Daerah, Dinas Pendidikan, Kepala sekolah dan orangtua di situ, jadi masing-masing betul-betul kesepaktan," jelasnya.

Enam poin yang harus dipenuhi adalah ketersediaan sarana sanitasi dan kebersihan (toilet bersih dan layak serta sarana cuci tangan pakai sabun dengan air mengalir atau penyanitasi tangan). Kemudian, mampu mengakses fasilitas pelayanan kesehatan, kesiapan menerapkan masker, memiliki thermogun, memiliki pemetaan warga satuan pendidikan (yang memiliki komorbid tidak terkontrol, tidak memiliki akses transportasi yang aman, dan riwayat perjalanan dari daerah dengan tingkat risiko yang tinggi), dan mendapatkan persetujuan komite sekolah atau perwakilan orang tua atau wali.

photo
Sekolah lagi (ilustrasi) - (republika)

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim menegaskan pembelajaran tatap muka yang boleh dilakukan mulai Januari 2021 tidak akan sama seperti sekolah pada sebelum pandemi Covid-19. Berbagai peraturan harus dipenuhi oleh sekolah sebelum pembelajaran tatap muka dilakukan.

"Pembelajaran tatap muka pada Januari 2021 ini bukan berarti tanpa prasyarat yang ketat," kata Nadiem, Senin (30/11).

Nadiem menjelaskan, berbagai macam peraturan telah disiapkan di dalam SKB Empat Menteri yang di luar normal. Misalnya, kapastias maksimal kelas 50 persen, aktivitas di luar kelas tidak diperkenankan, dan wajib memakai masker di dalam kelas.

Pembukaan sekolah juga tidak berdasarkan peta zonasi risiko yang ditetapkan oleh Satgas Covid-19, namun berdasarkan kesiapan sekolah. Pemerintah daerah diperbolehkan membuka sekolah di wilayahnya secara serentak, tapi juga diperbolehkan membuka sekolah secara bertahap.

"Tidak harus serentak per kabupaten/kota, tapi bisa di tingkat kecamatan dan desa. Semuanya tergantung pemerintah daerah tersebut," kata dia lagi.

Selain itu, sekolah harus memenuhi daftar periksa yang sudah ditetapkan. Termasuk juga persetujuan komite sekolah dan perwakilan orang tua. Jika ada orang tua yang tidak berkenan anaknya melakukan pembelajaran tatap muka, maka sekolah wajib memenuhi kebutuhan anak tersebut untuk belajar dari rumah.

"Virus corona masih menyebar dan perlu tetap ditekan lajunya. Oleh karena itu, mari kita bersinergi bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, sekolah dan orang tua, dalam melaksanakan kebijakan pembelajaran tatap muka secara bijak dan matang," kata Nadiem.

photo
Statistik pembukaan sekolah. - (Republika)

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement