REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, tren inflasi kembali berlanjut pada bulan lalu ke level 0,28 persen (month-to-month/mtom) dengan inflasi tahun kalender mencapai 1,23 persen. Ini menjadi inflasi kedua kalinya setelah Indonesia mengalami deflasi selama tiga bulan berturut-turut sepanjang Juli sampai September.
Pada Oktober, tingkat inflasi adalah 0,07 persen (mtom) dengan inflasi tahun kalender 0,95 persen. Penyebab utamanya, kenaikan harga cabai merah dan minyak goreng yang masing-masing memberikan andil 0,09 persen terhadap inflasi Oktober.
Sementara itu, pada November, inflasi diutamakan karena daging ayam yang memberikan kontribusi 0,08 persen. "Begitupun dengan telur ayam ras dan cabai merah," ujar Deputi Bidang Statistik, Distribusi dan Jasa BPS Setianto dalam konferensi pers secara virtual, Selasa (1/12).
Kenaikan harga komoditas tersebut yang menyebabkan kelompok makanan, minuman dan tembakau mengalami inflasi 0,86 persen pada bulan lalu. Kontribusi kelompok ini terhadap inflasi pun sangat signifikan, yaitu hingga 0,22 persen.
Kontributor besar berikutnya diberikan oleh kelompok transportasi yang mengalami inflasi 0,30 persen pada November dengan andil 0,04 persen. Setianto menjelaskan, kenaikan tarif angkutan udara menjadi salah satu andilnya.
Di sisi lain, kelompok perumahan, air listrik dan bahan bakar rumah tangga tercatat mengalami deflasi 0,04 persen pada bulan lalu. Setianto mengatakan, penyebabnya adalah penurunan tarif listrik yang memberikan andil 0,01 persen. "Di mana penurunannya diberlakukan untuk listrik pascabayar," katanya.
Kelompok perawatan pribadi dan jasa lainnya juga mengalami deflasi 0,23 persen sebagai dampak penurunan harga emas dan perhiasan. Tren ini berkontribusi 0,02 persen pada deflasi bulan lalu.
Secara keseluruhan, Setianto menyebutkan, sebagian besar kota Indeks Harga Konsumen (IHK) yang dipantau BPS mengalami kenaikan harga atau inflasi. Hanya tujuh dari 90 kota IHK yang tercatat deflasi, seperti Kendari, Ambon dan Pare Pare.
Inflasi tertinggi terjadi pada Kota Tual, Maluku, dengan level 1,15 persen. Utamanya dikarenakan kenaikan harga komoditas perikanan seperti ikan tongkol dan ikan layang. "Kemudian juga andil dari bahan bakar rumah tangga sebesar 0,30 persen," tuturnya.
Sementara itu, deflasi tertinggi diraih oleh Kendari, Sulawesi Tenggara, yaitu minus 0,22 persen. Deflasi di kota ini dikarenakan penurunan harga komoditas perikanan. Di antaranya, ikan layang dan ikan cakalang yang berkontribusi 0,07 persen dan 0,05 persen terhadap deflasi.