Selasa 01 Dec 2020 12:11 WIB

PPATK: 422 Rekening Indonesia Penampung Kejahatan Siber

Pada 422 rekening itu tercatat aliran masuk hasil penipuan berasal dari 140 negara.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Ratna Puspita
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae
Foto: undefined
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat ada sekitar 422 rekening di Indonesia yang teridentifikasi sebagai perantara atau penampung aliran dana terkait dugaan kejahatan dunia siber. Pada 422 rekening itu tercatat aliran masuk hasil penipuan berasal dari total 140 negara.

"Ada 422 pihak di Indonesia yang teridentifikasi sebagai rekening perantara atau penampungan aliran dana yang diduga terkait dengan penipuan siber ini, totalnya 140 negara yang masuk ke Indonesia diduga dari hasil penipuan yakni mencapai lebih Rp1 Triliun," ujar Kepala PPATK Dian Ediana Rae saat membuka Webinar bertema 'Membedah Tindak Pidana Siber sebagai Tindak Pidana Asal TPPU', Selasa (1/12).

Baca Juga

Dian mengatakan berdasarkan data laporan yang masuk ke PPATK, transaksi keuangan ilegal yang berkaitan dengan dunia siber semakin meningkat. Pada 2019, kata Dian, PPATK menerima lebih dari 200 laporan transaksi keuangan terkait kejahatan dunia siber.

Ia menyebut, hal ini tentu menjadi problem karena pendekatan menanggulangi kegiatan dunia siber ini belum ideal dan cenderung terlambat. "Seharusnya kita bergerak lebih cepat dari itu, karena aliran dana yang masuk PPATK soal kejahatan siber makin meningkat tahun ke tahun," ujarnya.

Dian mengingatkan semakin majunya teknologi harus diikuti dengan antisipasi terhadap perkembangan kejahatan itu sendiri. Ia mengatakan, transaksi keuangan dari kejahatan siber yang diterima PPATK lebih banyak berbasis peretasan email.

"Sampai sekarang kita terima 80 pengaduan, kerugian luar biasa besar dengan meretas email seseorang, lakukan transaksi keuangan lalu didrive, harusnya dibayar ke si a, tapi ke si B, ini luar biasa," kata dia.

Dian juga mengingatkan perlunya antisipasi agar kejahatan dunia siber ini tidak menjadi cara baru terorisme berkembang. Karena itu, tugas PPATK dan aparat penegak hukum dalan mengantipasi kemungkinan itu terjadi.

"Termasuk pendanaan terorisme, bagaimana antisipasi teroris sekarang jadi go virtual, baik dalam propaganda politik, atau dengan penghimpunan dana itu sangat berbahaya, bisa kita terjebak niatnya untuk sumbangan sosial tetapi yg menerima itu teroris," katanya. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement