Selasa 01 Dec 2020 14:07 WIB

'Evaluasi Kebijakan Edhy Prabowo Jangan Hanya Benih Lobster'

Koordinator DFW meminta evaluasi diperluas tak hanya soal benih lobster

Penyidik KPK bersiap memasuki Kantor Mina Bahari IV Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di Jakarta, Jumat (27/11). KPK melakukan penggeledahan usai ditangkapnya mantan Menteri KKP, Edhy Prabowo bersama enam tersangka lainnya dalam kasus dugaan suap terkait perizinan tambak, usaha dan pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya tahun 2020. Republika/Putra M. Akbar
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Penyidik KPK bersiap memasuki Kantor Mina Bahari IV Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di Jakarta, Jumat (27/11). KPK melakukan penggeledahan usai ditangkapnya mantan Menteri KKP, Edhy Prabowo bersama enam tersangka lainnya dalam kasus dugaan suap terkait perizinan tambak, usaha dan pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya tahun 2020. Republika/Putra M. Akbar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan menyatakan evaluasi yang dilakukan pascapenangkapan Edhy Prabowo jangan berhenti hanya soal izin ekspor benih lobster, tetapi harus diperluas ke kebijakan perizinan lainnya.

Abdi Suhufan mengingatkan bahwa selain izin benih lobster, sistem perizinan lain pada sektor kelautan dan perikanan perlu mendapat pengawasan semua pihak terutama oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Terdapat kewenangan perizinan lain di KKP yang rawan seperti pertambakan, tata ruang pesisir dan laut, reklamasi dan izin kapal ikan," kata Koordinator Nasional DFW Indonesia di Jakarta, Selasa (1/12).

Menurut dia, potensi pidana korupsi terkait kasus ekspor benih lobster walaupun nilainya kecil, tetapi bisa berdampak psikologis dan menjadi semacam peringatan bahwa sektor kelautan dan perikanan masih rawan terjadi praktik korupsi.

"Dampak psikologisnya besar dan jika tidak terungkap akan menjadi pintu masuk praktik korupsi lain di sektor kelautan dan perikanan," kata Abdi.

Ia berpendapat besarnya kewenangan perizinan di KKP ini jika tidak di tata dengan baik akan mengundang praktik percaloan atau broker yang berkelindan dengan kekuasaan atau oligarki.

Kondisi tersebut, lanjutnya, mesti diantisipasi dengan menutup celah korupsi kebijakan, suap dan percaloan yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi bagi masyarakat.

"Caranya dengan membangun sistem pencegahan korupsi di internal KKP dan pilih orang baik yang berintegritas," kata Abdi.

Sebelumnya, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama S Langkun menyatakan persoalan terkait ekspor benih lobster memiliki permasalahan baik dari segi hulu hingga ke segi hilirnya.

"Konteks ekspor benih lobster, permasalahannya dari hulu hingga hilir," kata Tama Langkun dalam diskusi daring tentang Tata Ulang Ekspor Bibit Lobster, Senin (30/11).

Menurut dia, sejumlah permasalahan hulu seperti dalam perizinan antara lain terkait kuota dan berdasarkan informasi dari pelaku usaha yang datang ke ICW, ada perusahaan yang memenuhi persyaratan tetapi tidak mendapatkan izin ekspor.

Ia berpendapat bahwa perizinan bila diberikan maka seharusnya diberikan dengan cara yang patut, penuh pengawasan, serta menjunjung tinggi objektivitas.

Sedangkan dari segi hilir, lanjutnya, terkait dengan adanya penentuan satu perusahaan kargo saja yang memonopoli upaya-upaya untuk melakukan ekspor benih lobster. "Problem-problem ini menjadi catatan bagi kita untuk bisa terlibat dalam fungsi-fungsi pengawasan dan mengawal proses-proses yang sekarang terjadi," kata Tama.

Tama juga menyoroti adanya staf khusus menteri yang ternyata bisa menjadi penentu perusahaan mana yang bisa melakukan ekspor, setelah berkoordinasi dengan asosiasi terkait.

Untuk itu, ujar dia, sudah selayaknya ada perbaikan di internal KKP, terlebih sudah sejak lama ada catatan dari Ombudsman yang mempermasalahkan terkait ekspor benih lobster.

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement