Selasa 01 Dec 2020 18:41 WIB

Nabi Muhammad SAW Dikenal Lembut, Tapi Pernah Tegas?

Rasulullah SAW dikenal sebagai sosok yang lembut, tapi tegas.

Rasulullah SAW dikenal sebagai sosok yang lembut tapi tegas Rasulullah SAW (ilustrasi)
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Rasulullah SAW dikenal sebagai sosok yang lembut tapi tegas Rasulullah SAW (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Apakah Nabi Muhammad SAW tidak pernah bersikap tegas? Tentu saja pernah. Karena Islam mengajarkan keseimbangan. Tapi segala sesuatu mesti ditempatkan pada posisinya yang tepat. Bersikap lembut dalam situasi yang menuntut keras jelas sebuah kelemahan.  

Allah سبحانه وتعالى berfirman: يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ ... التوبة 73  “Wahai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan munafik dan keraslah terhadap mereka…”

Baca Juga

Lebih tegas lagi, Allah سبحانه وتعالى berfirman: مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ ... الفتح 29 “Muhammad itu utusan Allah, dan orang-orang yang bersamanya tegas terhadap orang kafir dan saling menyayangi sesama mereka…”

Hanya yang perlu menjadi catatan adalah bersikap tegas bukan berarti berkata kasar, apalagi berkata kotor. Tegas artinya jelas, pasti, tidak main-main dan tidak pandang bulu. 

Dalam kehidupan sehari-hari kita melihat ada orang yang bersikap tegas tapi kata-katanya sangat lembut. Sebaliknya ada orang yang kata-kata kasar tapi sesungguhnya ia seorang yang lembek dan tidak berprinsip. Jadi, tidak ada talazum antara berkata lembut dengan sikap lembek, antara bersikap tegas dengan berkata kasar.    

Tidak ada yang aneh ketika seorang tokoh, meskipun ia seorang ulama besar dan keturunan Rasulullah, melakukan suatu kesalahan atau kekhilafan. Itu bukti bahwa ia manusia biasa, bukan nabi apalagi malaikat. Maka tidak perlu mencari berbagai pembenaran, apalagi menggunakan riwayat-riwayat yang sebagian perlu diteliti kembali keshahihannya dan sebagian lagi bersifat kasuistik.  

Namun demikian, satu atau beberapa kesalahan yang dilakukannya tidak boleh membuat kita melupakan sekian banyak kebaikan, jasa dan kelebihan yang dimilikinya. Apalagi kalau sesungguhnya kesalahan atau kekhilafan itu lebih bersifat responsif.  

Tak salah kalau kita ulang-ulang syair lama yang selalu relevan ini : 

وَعَيْنُ الرِّضَا عَنْ كُلِّ عَيْبٍ كَلِيْلَةٌ    وَلَكِنَّ عَيْنَ السُّخْطِ تُبْدِي الْمَسَاوِيَا "Pandangan suka, terhadap sekalian aib menjadi buta. Pandangan benci menampakkan segala yang salah."  

Ada yang bertanya, apakah salah menyebut seseorang dengan sesuatu yang memang dilakukannya? Apakah batu akan berubah menjadi emas kalau ia disebut emas? Berarti tak ada salahnya menyebut sesuatu sesuai dengan kenyataannya. 

Memang, penghalusan istilah terhadap sebuah maksiat bisa berdampak pada berkurangnya rasa kebencian (an-nufur) terhadap maksiat itu, padahal mau disebut koruptor atau disebut maling hakikatnya tetap sama yaitu mengambil harta yang bukan haknya.  

Benar bahwa sesuatu mesti disebut sesuai dengan kenyataannya. Akan tetapi dengan syarat tidak dalam konteks merendahkan, apalagi menghina. 

Dikisahkan, suatu ketika Imam Tajuddin as-Subki, saat masih remaja, melihat seekor anjing masuk ke rumahnya. Ia pun menghardik anjing itu dan berkata: 

يا كلب ابن الكلب  “Wahai anjing anak anjing.” 

Mendengar hal itu, sang ayah; Imam Taqiyyudin as-Subki menegurnya. Tajuddin berkilah: "Bukankah ia memang seekor anjing? Saya tidak mengatakan sesuatu yang bohong." Sang ayah berkata, "Boleh mengatakan demikian jika tidak ada kesan menghina dan merendahkan."

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement