Selasa 01 Dec 2020 19:29 WIB

Peringatan IDAI, Sekolah Tatap Muka Berisiko Tinggi

IDAI masih memandang sistem PJJ adalah hal teraman di saat pandemi belum reda.

Siswa mengerjakan soal penilaian akhir semester (PAS) tahun ajaran 2020/2021 menggunakan layanan Jakwifi di posyandu kawasan Kelurahan Galur, Jakarta, Senin (30/11). Mulai Januari 2021, sekolah tatap muka akan diizinkan kembali dengan syarat ketat. IDAI memandang sekolah tatap muka berisiko tinggi karena laju Covid-19 yang belum terkendali.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Siswa mengerjakan soal penilaian akhir semester (PAS) tahun ajaran 2020/2021 menggunakan layanan Jakwifi di posyandu kawasan Kelurahan Galur, Jakarta, Senin (30/11). Mulai Januari 2021, sekolah tatap muka akan diizinkan kembali dengan syarat ketat. IDAI memandang sekolah tatap muka berisiko tinggi karena laju Covid-19 yang belum terkendali.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febrianto Adi Saputro, Antara

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menganggap rencana transisi pembukaan sekolah untuk pembelajaran tatap muka memiliki risiko yang sangat tinggi. Rencana pembukaan sekolah tatap muka bisa memicu lonjakan kasus Covid-19, terutama pada anak dan remaja.

Baca Juga

"Karena anak masih dalam masa pembentukan berbagai perilaku hidup yang baik agar menjadi kebiasaan rutin di kemudian hari, termasuk dalam menerapkan perilaku hidup bersih sehat," ujar Ketua Umum IDAI Dr Aman B Pulungan melalui siaran pers, Selasa (1/12).

Menurut Aman, ketika protokol kesehatan dilanggar, baik sengaja atau pun tidak, maka risiko penularan infeksi Covid-19 secara otomatis akan melonjak. "Peningkatan jumlah kasus yang signifikan pascapembukaan sekolah telah dilaporkan di banyak negara, sekalipun negara maju. Sebut saja Korea Selatan, Prancis, Amerika Serikat," kata Aman.

Menurut IDAI, penundaan pembukaan sekolah untuk kegiatan pembelajaran tatap muka tentu saja memiliki andil yang cukup besar untuk menurunkan transmisi. Seluruh warga sekolah termasuk guru dan staf disebut IDAI sebagai bagian dari masyarakat yang memiliki risiko yang sama untuk tertular dan menularkan Covid-19.

"Menimbang dan memperhatikan panduan dari WHO, publikasi ilmiah, publikasi di media massa, dan data Covid-19 di Indonesia pada saat ini, maka IDAI memandang bahwa pembelajaran melalui sistem jarak jauh (PJJ) adalah hal yang lebih aman," jelas Aman.

Namun demikian, berbagai laporan terkait kesejahteraan anak dan keluarga selama pandemi berlangsung juga perlu mendapatkan perhatian. "Sebut saja adanya peningkatan stres pada anak dan keluarga, perlakuan yang salah, pernikahan dini, ancaman putus sekolah, serta berbagai hal yang juga mengancam kesehatan dan kesejahteraan anak yang secara umum dialami di negara-negara berkembang," kata Aman.

Oleh sebab itu, bila rencana transmisi pembelajaran tatap muka tetap perlu diberlakukan pada bulan Januari 2021, IDAI menegaskan perlu adanya sejumlah hal yang diperhatikan dan dilakukan yang mencakup dukungan untuk kesehatan dan kesejahteraan anak.

Mulai dari pendidikan disiplin hidup bersih sehat, penerapan protokol kesehatan dari rumah hingga ke sekolah, termasuk mempersiapkan kebutuhan penunjang kesehatan anak seperti masker, bekal makanan dan air minum, pembersih tangan, hingga rencana transportasi. Kendati demikian, orang tua juga harus memperhatikan kebutuhan anak.

Bila anak masih sangat memerlukan pendampingan orangtua saat sekolah dan memiliki kondisi komorbid yang dapat meningkatkan risiko sakit parah apabila tertular Covid-19, maka sebaiknya anak belajar dari rumah dulu saja. Perlu diajarkan juga pada anak dan guru untuk mengenali dan mengetahui gejala awal sakit dan melapor pada guru apabila diri sendiri atau teman ada yang mengalami gejala sakit.

Pembukaan sekolah pun juga harus melalui sejumlah pertimbangan dinas kesehatan dan organisasi profesi kesehatan setempat dengan memperhatikan apakah angka kejadian dan angka kematian Covid-19 di daerah tersebut masih meningkat atau tidak.

Aman mengatakan, untuk kembali melakukan pembelajaran tatap muka, pertama perlu diperhatikan adanya upaya bersama yang mendukung kesehatan serta kesejahteraan anak Indonesia dan hal itu harus terus diperjuangkan. Kedua, seluruh pemangku kepentingan orang tua, masyarakat maupun pemerintah berkewajiban memenuhi hak anak sesuai dengan konvensi hak anak tahun 1990 yaitu hak untuk hidup, hak untuk bertumbuh dan berkembang dengan baik, serta hak untuk mendapatkan perlindungan.

Kemudian, penting untuk memahami bahwa pendidikan disiplin hidup bersih, sehat serta penerapan protokol kesehatan dimulai dari rumah sebagai lingkungan terdekat anak, terlepas dari apakah anak menghadiri kegiatan belajar tatap muka atau tidak.

Di samping itu, ia mengingatkan pada kelompok anak yang tinggal di sekolah berasrama diperlukan peran keluarga serta lingkungan sekolah dan asrama sehingga pemenuhan kebutuhan dasar, tumbuh kembang, bimbingan dan pendidikan perilaku dapat terlaksana dengan meminimalkan risiko penyebaran penyakit.

Lebih jauh, kebijakan pembukaan sekolah di masing-masing daerah harus meminta pertimbangan dinas kesehatan dan organisasi profesi kesehatan setempat dengan memerhatikan angka kejadian dan angka kematian Covid-19 di daerah tersebut masih meningkat atau tidak. Yang tidak kalah penting, ujar dia, pihak sekolah hendaknya pertama-tama memenuhi standar protokol kesehatan dengan memastikan dukungan fasilitas yang memadai sesuai anjuran atau petunjuk teknis yang berlaku sebelum merencanakan dimulainya pembelajaran tatap muka dan memastikan segala sesuatunya dapat terpenuhi selama kegiatan berlangsung.

Secara umum, ia mengingatkan bahwa peningkatan kapasitas contact tracing dan tata laksana kasus Covid-19 perlu terus diupayakan. Sebab, perubahan besar yang terjadi selama masa pandemi akan menjadi bagian dari potret kehidupan anak yang sedang beranjak dewasa.

Di tambah pula, kebutuhan untuk membentuk perilaku sehat yang konsisten adalah suatu keniscayaan yang perlu ditanamkan sejak dini agar menjadi kebiasaan rutin di kemudian hari. "Karena itu peran orang tua, keluarga, guru serta lingkungan terdekat anak untuk mendidik dengan sabar dan konsisten sejak dini sangatlah penting. Semoga anak Indonesia selamat melewati pandemi ini," ujarnya.

 
 
 
Lihat postingan ini di Instagram
 
 
 

Sebuah kiriman dibagikan oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (@idai_ig)

Ketua Bidang Perubahan Perilaku Satgas Penanganan Covid-19 Sony Harry B Harmadi mengatakan pembelajaran tatap muka diperbolehkan namun tidak diwajibkan. “Jangan dipaksakan untuk pembelajaran tatap muka, karena tidak ada kewajiban. Makanya dalam bahasa kami diperbolehkan untuk pembelajaran tatap muka dengan sejumlah pertimbangan,” ujar Sony.

Pembelajaran tatap muka dilakukan dengan perizinan berjenjang mulai dari Pemerintah Daerah (Pemda), sekolah, komite sekolah hingga orang tua siswa. Sekolah boleh tidak melakukan pembelajaran tatap muka jika belum siap. Begitu juga orang tua diperkenankan tidak mengizinkan anaknya mengikuti pembelajaran tatap muka.

“Pembelajaran harus benar-benar menerapkan protokol kesehatan. Anak yang sakit tidak diperkenankan untuk mengikuti pembelajaran tatap muka,” jelas dia.

Koordinator Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G), Satriwan Salim, mengatakan Pemda harus mempertimbangkan dengan matang sebelum melakukan pembelajaran tatap muka dilakukan. “Saya rasa diperlukan Tim Satgas atau Satpol PP atau kepolisian yang bertugas "mengawasi" siswa selepas pulang dari sekolah. Kalau ada siswa yang keluyuran main ke sana ke mari, dan tidak memakai masker maka bisa diarahkan pulang ke rumah oleh Satgas Khusus tersebut,” kata Satriwan.

Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah (PAUD Dikdasmen) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Jumeri mengatakan pembelajaran tatap muka pada Januari 2021 tidak diwajibkan namun diizinkan. Langkah tersebut diambil dengan mempertimbangkan banyak aspek di antaranya ada daerah yang aman untuk pembelajaran tatap muka. Menurut dia, yang tahu kondisi daerah tersebut adalah Pemerintah Daerah itu sendiri.

“Pemda pasti mempertimbangkan faktor risiko di daerahnya dan kesulitan yang dialami peserta didik di daerah itu,” kata Jumeri. Pembelajaran tatap muka itu pun harus dilakukan dengan izin berjenjang mulai dari Pemda, sekolah, komite sekolah hingga orang tua murid.

Sebelum melakukan pembelajaran tatap muka, sekolah harus memenuhi daftar periksa. Enam daftar periksa yang harus dipenuhi yakni ketersediaan sarana sanitasi dan kebersihan meliputi toilet bersih dan layak serta sarana cuci tangan pakai sabun dengan air mengalir atau penyanitasi tangan.

Selain itu mampu mengakses fasilitas pelayanan kesehatan, kesiapan menerapkan masker, memiliki thermogun, memiliki pemetaan warga satuan pendidikan yaitu yang memiliki komorbid tidak terkontrol, tidak memiliki akses transportasi yang aman, dan riwayat perjalanan dari daerah dengan tingkat risiko yang tinggi, serta mendapatkan persetujuan komite sekolah atau perwakilan orang tua/wali.

Rencana sekolah tatap muka ditanggapi beragam oleh orang tua. Sejumlah orang tua di Kabupaten Tangerang mendukung kebijakan pemerintah pusat memberikan keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk melakukan pembelajaran tatap muka.

“Saya mendukung karena sebenarnya kasihan anak-anak. Mereka sudah bosan belajar di rumah saja,” ujar seorang orang tua siswa, Eviyanti, di Tangerang.

Dia menjelaskan anaknya yang bernama Gisella dan Almira sudah jenuh belajar di rumah. Akibatnya, mereka enggan mengerjakan tugas yang diberikan gurunya.

Ia juga mengaku kesulitan mendampingi anaknya dalam belajar karena banyak pelajaran yang tidak ia mengerti. “Pelajaran anak-anak sekarang lebih sulit dibanding saya dulu. Banyak pelajaran yang saya tidak mengerti,” kata dia.

Hal senada juga disampaikan oleh wali murid lainnya, yakni Fitriana dengan mengaku kesulitan mendampingi anaknya belajar di rumah karena harus bekerja. “Agak kesulitan kalau anak belajar di rumah, karena saya kerjanya di pabrik dan jadwalnya juga shift yang beda setiap minggunya,” kata dia.

Oleh karena itu, Fitriana mendukung sekolah dibuka kembali untuk kegiatan belajar mengajar secara tatap muka asalkan disiplin dalam menerapkan protokol kesehatan guna mencegah penularan Covid-19.

Anggota Komisi X DPR Ledia Hanifa Amaliah menilai keputusan sekolah tatap muka sebagai bentuk pelemparan tanggung jawab dari pusat ke daerah. Ia menyayangkan tidak adanya dukungan dari pemerintah pusat terkait fasilitasi peralatan untuk kesiapan penerapan protokol Covid-19 di sekolah.

"Seperti tempat cuci tangan, ketersediaan masker, pembelajaran tatap muka yang paralel dengan daring jika ada orang tua yang tidak izinkan anak KBM tatap muka," kata Ledia.

Ia membenarkan bahwa pemerintah pusat seharusnya membantu memberikan fasilitas protokol Covid-19 untuk sekolah. "Hanya daftar contrengan yang disiapkan pemerintah pusat untuk memastikan kehati-hatian pemerintah daerah," ujarnya.

Selain itu, dalam melakukan kebijakan tersebut, perlu dipastikan juga bahwa guru-gurunya disiplin memberlakukan protokol terhadap dirinya, pengantar, tenaga pendidik maupun siswa. Sehingga menurutnya iklim harus terbangun bersama-sama.

"Jangan pula nanti menyalahkan pemda yang sangat berhati-hati," ungkapnya.   

Sementara Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian mengimbau agar sekolah-sekolah yang belum siap melakukan sekolah tatap muka dapat mempersiapkannya dengan matang sebelum membuka kembali kegiatan. Pemda pun diminta mendorong sekolah dan mengawasi kesiapan daftar periksa.

photo
New Normal di Sekolah - (Republika)

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement