Selasa 01 Dec 2020 20:54 WIB

Potensi Energi Terbarukan di Jateng

Jateng memiliki potensi besar dalam pengembangan pembangkit listrik tenaga panas bumi

Rep: Binti Sholikah/ Red: Agus Yulianto
Gunung Lawu
Foto: MountainRanger
Gunung Lawu

REPUBLIKA.CO.ID, SOLO - Energi baru dan terbarukan (EBT) di Indonesia memiliki potensi cukup besar untuk dikembangkan. Potensi EBT di Indonesia mencapai 442 Giga Watt. Sumber EBT yang dimilik Indonesia pun beragam seperti, surya, air, angin, panas bumi, bio energi, dan gelombang samudera.

Energi terbarukan di Jawa Tengah (Jateng) memiliki potensi cukup besar untuk dikembangkan. Jateng memiliki potensi besar dalam pengembangan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP). Bahkan, potensi daya panas bumi di seluruh area ini mencapai 5.000 MW.

Saat ini, ada enam titik panas bumi yang ditangani sejumlah lokasi di Jateng, seperti di Gunung Ungaran, Gunung Lawu, Baturaden, Guci, Telomoyo, dan Dieng.

Pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di Indonesia juga memiliki potensi yang besar. Misalnya, PLTA Kayan di Kalimantan Utara memiliki kapasitas 9.000 MW. Sedangkan PLTA Batang Toru di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, berkapasitas 510 MW dan akan berkontribusi pada pengurangan emisi karbon sekitar 1,6 juta ton per tahun atau setara dengan kemampuan 12 juta pohon menyerap karbon.

Pengembangan EBT tersebut dibahas dalam webinar bertema "Hidup Baru dengan Energi Terbarukan" yang digelar Yayasan Perspektif Baru (YPB) dan Konrad Adenauer Stiftung (KAS) bekerja sama dengan FISIP Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Senin (30/11).

Webinar menghadirkan pembicara antara lain, Pendiri Yayasan Perspektif Baru Wimar Witoelar, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa, dan Dosen FISIP UNS Siti Zunariyah. Selain itu, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Dadan Kusdiana memberikan keynote speaker.

Dadan Kusdiana mengatakan, tren bauran energi terbarukan Indonesia tiap tahun meningkat hingga 10,9 persen pada 2020. Kontribusi energi terbarukan terbesar kini didominasi oleh energi-energi terbarukan utama yaitu energi hydro/air, panas bumi, bioenergi. "Yang mulai membanggakan adalah mulai muncul energi surya dan bayu," jelasnya, seperti tertulis dalam siaran pers, Selasa (1/12).

Realisasi penurunan gas rumah kaca sektor energi Indonesia masih sesuai dengan target dan diperlukan upaya lebih untuk mencapai target nationally determined contribution (NDC) 2030. Dadan menyebut, mahasiswa dapat berperan dalam penurunan emisi melalui energi bersih.

"Mahasiswa-mahasiswa sekarang punya kreativitas dengan ide-ide yang tidak terpikirkan oleh generasi yang lebih tua. Sekarang sudah banyak yang muncul dengan starter-starter kecil. Bisa juga dengan bisnis-bisnis skala kecil UKM dengan misalnya menggunakan teknologi biogas," imbuhnya.

Sementara Fabby Tumiwa mengatakan, PBB sudah memperingatkan krisis iklim harus ditangani secara serius. Sebab, 70 persen pembakaran dari bahan bakar energi. "Jika kita ingin mencegah peningkatan suhu bumi 2 derajat. Maka dua per tiga cadangan energi fossil tidak boleh dibakar dan harus dibiarkan di dalam tanah," ucapnya.

Menurut Fabby, berbagai negara punya target yang lebih ambisius seperti China yang menyatakan akan mencapai carbon neutrality pada 2060. Padahal penggunaan energi fosil China setara 30 kali PLTU Indonesia. Pemerintah Jepang dan Korea Selatan menyusul menyatakan akan mencapai carbon neutrality. "Sekarang, masyarakat internasional menunggu kapan Indonesia membuat komitmen serupa," imbuhnya.

Siti Zunariyah menyatakan, energi merupakan variabel kunci dalam evolusi budaya. Masyarakat membutuhkan teknologi konversi energi untuk bertahan hidup dan berkembang pesat sejak revolusi industri. "Sayangnya konsumsi energi bisa menyebabkan hal-hal negatif seperti pelepasan gas-gas rumah kaca," kata Siti.

Siti menambahkan, faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi energi yakni, cara pandang alam ini tidak terbatas. Seberapa pun diambil akan tersedia. Padahal yang tersedia di alam terbatas, sedangkan yang diinginkan manusia terus berkembang. Sehingga, konsumsi energi yang sangat boros akan berdampak pada krisis iklim.

Wimar Witoelar menyatakan, pandemi ada karena tidak bijaknya orang menggunakan teknologi. Karena itu Bill Gates misalnya bisa meramalkan adanya pandemi. Jalannya pengatasan pandemi sejalan dengan pertumbuhan energi terbarukan. "Menjaga resources alam itu sama dengan menjaga resources manusia. Jika dilakukan secara analitis maka tidak ada yang salah," ungkap Wimar.

Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) PBB mengatakan tanda-tanda dan dampak perubahan iklim, seperti kenaikan permukaan laut, hilangnya es, dan cuaca ekstrem, meningkat selama 2015-2019. Kenaikan tersebut ditetapkan menjadi periode lima tahun terhangat yang pernah tercatat.

Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (IFRC) mengatakan ketika dunia dilanda pandemi Covid-19, dampak perubahan iklim tidak berhenti.

Laporan tentang bencana global yang dimuat di situs IFRC, menunjukkan dunia telah dilanda lebih dari 100 bencana sejak WHO menyatakan pandemi Covid-19 pada Maret 2020. Mayoritas bencana terkait perubahan iklim. Lebih dari 50 juta orang terdampak. IFRC juga mengingatkan, tidak ada vaksin untuk bahaya perubahan iklim.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement