Rabu 02 Dec 2020 00:48 WIB

Hoaks Pilkada Kian Masif Jelang Pemungutan Suara

Setidaknya ada 43 laporan hoaks Pilkada 2020 yang diterima Bawaslu per 1 Desember.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Andri Saubani
Anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar (tengah).
Foto: ANTARA/RENO ESNIR
Anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar (tengah).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemungutan suara Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 akan digelar serentak di 270 daerah pada 9 Desember mendatang. Jelang hari pencoblosan itu, konten sepanjang gelaran pilkada yang terindikasi informasi palsu atau hoaks kian masif di internet ataupun media sosial.

Dalam data yang dikirimkan Anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI Fritz Edward Siregar, setidaknya ada 43 laporan isu hoaks Pilkada 2020 dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) per 1 Desember pukul 06.00. Jumlah ini meningkat dibandingkan data per 29 Oktober, dengan 38 laporan isu hoaks.

Baca Juga

Jumlah di atas pun belum termasuk dua laporan yang diterima Bawaslu terkait penyebaran berita bohong dan satu laporan disinformasi per 29 November 2020. Menurut Fritz, temuan hoaks pilkada ini ditindaklanjuti dengan permintaan takedown atau konten kepada penyedia platform digital.

"Tergantung asal dari mana. Kalau laporan dari Kominfo, kami kirim balik ke mereka. Kalau itu temuan Bawaslu atau laporan masyarakat, kami langsung," ujat Fritz saat dikonfirmasi Republika, Selasa (1/12).

Konten hoaks dan disinformasi yang terjadi selama Pilkada 2020 antara lain foto Prabowo Subianto yang mengacungkan jari telunjuk diklaim sebagai pernyataan dukungan kepada pasangan calon nomor urut 1 di pilkada Kalimantan Tengah. Faktanya, foto tersebut diambil saat Prabowo melakukan kampanye pada Pemilihan Presiden 2014, sehingga tidak ada kaitannya dengan bentuk dukungan kepada salah satu kandidat Pilkada 2020.

Selain itu, hoaks berupa surat permohonan bantuan dana pengamanan pilkada yang mengatasnamakan kepala daerah juga terjadi. Hoaks ini mencatut nama gubernur Kalimantan Barat, gubernur Kalimantan Timur, gubernur Nusa Tenggara Barat, gubernur Sumatera Utara, bupati Pasuruan, gubernur Papua Barat, gubernur Kepulauan Riau, gubernur Banten, gubernur Kalimantan Utara, gubernur Jawa Barat, hingga gubernur DKI Jakarta.

Para kepala daerah itu sama-sama telah membantah dan menyatakan surat permohonan bantuan dana pengamanan pilkada yang mengatasnamakan dirinya hoaks. Kemudian, hoaks pilkada juga menyasar penyelenggara pemilihan seperti pencatatuan logo Bawaslu dalam poster yang memberikan informasi keliru.

Ada pula hoaks berupa grafis skor debat pilkada Purbalingga dan hasil survei pasangan calon pilkada Makassar. Isu hoaks lainnya, terdapat pesan berantai yang menyebutkan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharani mengimbau warga tidak datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) karena daerahnya zona hitam.

Lalu hoaks soal ditemukannya obat corona bernama pil-kada dan pilkada ditunda kecuali di Solo dan Medan. Beberapa hoaks dianggap merugikan pasangan calon lainnya atau menguntungkan salah satu kandidat.

Sementara itu, Peneliti Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) Rizqan Kariema Mustafa mengatakan, isu hoaks menjadi potensi pelanggaran yang perlu diperhatikan di sisa masa kampanye. Menurut dia, frekuensi kampanye daring yang rendah dibandingkan metode tatap muka tidak membuat isu hoaks di media sosial mereda, padahal dapat merugikan sejumlah pihak termasuk masyarakat.

Ia menyebutkan, hal itu ditunjukkan berdasarkan hasil pengawasan Bawaslu selama 60 hari masa kampanye, kampanye tatap muka mencapai 91.640 kegiatan sedangkan kampanye daring selama dua bulan hanya 468 kegiatan. Namun, puluhan isu hoaks pilkada ditemukan Kominfo dan Bawaslu.

"Sedikitnya frekuensi kampanye daring tidak membuat isu hoaks di media sosial mereda," kata Rizqan.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement