REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Mukti Fajar Nur Dewata mengatakan motivasinya menjadi anggota Komisi Yudisial adalah untuk membuktikan teori hukum yang diajarkan di kelasnya efektif jika diterapkan di lembaga kehakiman.
"Saya tidak bisa hanya duduk di meja kelas, mengajarkan teori-teori yang semuanya bicara tentang kebenaran, tapi praktiknya di (lembaga kehakiman) sana awut-awutan. Oleh karena itu, saya merasa terpanggil," kata Mukti saat menjalani uji kepatutan dan kelayakan calon anggota KY di Komisi III DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (2/12).
Mukti mengatakan setiap kali bertemu alumni mahasiswanya dulu, mereka selalu mengatakan kepadanya kalau ilmu yang diperoleh di kelas tidak ada gunanya.
"Setiap kali bertemu alumni, yang kuasa hukum (lawyer), yang hakim, yang jaksa, bilang 'pak, ilmu bapak itu enggak ada gunanya. Di pengadilan, enggak ada yang seperti itu'. Itu yang membuat kegelisahan," kata Mukti.
Mukti mengatakan, meski dalam waktu yang terbatas, dia ingin terlibat dalam proses memperbaiki sistem peradilan di Indonesia. "Itu motivasi saya pak, komitmen saya," kata Mukti.
Adapun ketika ditanyai terkait visinya mengenai hubungan kelembagaan antara KY dengan Mahkamah Agung (MA), Mukti mengatakan bahwa KY kelak tidak akan memiliki arogansi politik saat memeriksa keputusan-keputusan hakim yang dikeluhkan masyarakat.
"Arogansi politik di sini adalah ketika KY memeriksa (keputusan hakim), itu seakan-akan dia bersikap ingin menghakimi, ingin mencari kesalahan, yang kemudian hal ini tentu saja menjadi resisten bagi Mahkamah Agung untuk melindungi anak buahnya yang akan diperiksa," kata Mukti.
Mukti ingin KY lebih mengedepankan kesabaran daripada arogansi. Ia mengatakan amar makruf harus lebih didahulukan daripada nahi mungkar.
"Jadi kita utamakanlah amar makruf ya. Amar makruf memang butuh kesabaran. Jangan nahi mungkar pak. Kalau nahi mungkar, salah langsung hajar, salah hajar. Jadi amar makruf dulu lah," kata Mukti.