REPUBLIKA.CO.ID, KOLOMBO -- Mahkamah Agung (MA) Sri Lanka telah menolak petisi oleh anggota komunitas Muslim, yang menentang peraturan pemerintah perihal mewajibkan kremasi untuk kematian terkait Covid-19.
Dilansir dari laman 5pillarsuk pada Rabu (2/11), sebanyak dua belas pemohon petisi Muslim menentang peraturan pemerintah yang dikeluarkan pada April. Mereka mengklaim, hal tersebut melanggar hak-hak dasar minoritas Muslim di pulau itu. Akan tetapi permohonan yang mereka ajukan tidak didengar.
Pada 11 April, pemerintah mengeluarkan pemberitahuan resmi yang mewajibkan kremasi untuk kematian terkait Covid-19.
Para pemimpin Muslim mengklaim, hal itu melanggar rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yang tidak menentang penguburan. Pedoman WHO menetapkan bahwa korban dapat dikubur atau dikremasi.
Pelapor PBB dan pengawas hak internasional telah mendesak pemerintah Sri Lanka untuk meninjau keputusan tersebut, dan menghormati hak penguburan komunitas Muslim.
Di samping itu, baru-baru ini Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) menyatakan keprihatinan mendalam terkait kremasi yang diberlakukan pemerintah Sri Lanka. OKI menyatakan, WHO tidak merekomendasikan kremasi, sehingga tidak ada pembenaran yang masuk akal untuk memberlakukan kremasi.
OKI mendesak pemerintah Sri Lanka memenuhi kewajiban hak asasi manusia dengan menghormati hak minoritas Muslim, untuk menjalankan agama mereka bebas dari diskriminasi apa pun, termasuk hak tanpa kompromi untuk menghormati martabat orang mati sesuai dengan keyakinan dan kewajiban agamanya.
Pejabat Sri Lanka telah membenarkan kebijakan tersebut, dengan mengatakan bahwa penguburan membutuhkan waktu lebih lama daripada kremasi. Disebutkan tingkat air tanah negara tersebut terlalu tinggi, sehingga meningkatkan risiko penyebaran infeksi.
Keputusan pengadilan diambil karena negara saat ini sedang dilanda gelombang kedua pandemi. Jumlah kasus dan kematian meningkat enam kali lipat dari awal Oktober.
Menurut data Universitas Johns Hopkins, Sri Lanka telah melaporkan 23.987 kasus dan 118 kematian.
Ketegangan antara Muslim dan mayoritas Buddha Sinhala telah melonjak semenjak Paskah 2019, setelah jihadis lokal dituduh melakukan bom bunuh diri di tiga hotel, dan tiga gereja yang menewaskan 279 orang.
Beberapa pekan kemudian, gerombolan Sinhala menyerang Muslim, membunuh satu orang dan melukai puluhan lainnya. Ratusan rumah dan kendaraan hancur, sementara pihak berwenang dituduh gagal menghentikan kekerasan, sebuah tuduhan yang dibantah oleh Kolombo.