REPUBLIKA.CO.ID,SLEMAN -- Nanopartikel berkembang pesat 10 tahun terakhir, termasuk dalam bidang farmasi. Diyakini mampu buahkan khasiat lebih unggul dibanding produk biasa karena dimensi nano membantu kelarutan partikel dalam air yang mempercepat proses absorbsi.
Guru Besar Bidang Farmasetika Universitas Islam Indonesia (UII), Prof Yandi Syukri mengatakan, pengembangan nanopartikel dilakukan pula UII. Tapi, UII terus berusaha menciptakan produk-produk nanopartikel baru melalui pengembangan bahan-bahan alam.
"Tujuannya, agar produk-produk tersebut memberikan khasiat yang lebih unggul," kata Yandi dalam Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Kesehatan Modern dan Tradisional yang digelar UII Nanopharmacy Research Center secara daring.
Ia menuturkan, melalui UII Nanopharmacy Research Center mereka mampu mengembangkan propolis melalui metode self nanoemulsifying. Mereka mengembangkan propolis dijual di pasaran menggunakan nanoteknologi, sehingga warnanya tidak lagi keruh.
Produk propolis self nanoemulsifying yang dikembangkan UII dipercaya memiliki peran dalam imunostimulan. Yandi menekankan, produk propolis tersebut telah diikutkan dalam Bursa Hilirisasi Inovasi Herbal Indonesia dan telah diujikan BPOM.
Selain itu, mereka telah mengembangkan gold nanopartikel, yang kini sudah mampu membuat krim kosmetik dan serum wajah. Awalnya, dari larutan emas yang bermuatan positif nantinya diubah menjadi nol, sehingga menjadi nanopartikel. "Caranya dengan ekstrak daun tin yang dijadikan sebagai reduktor," ujar Yandi.
Saat ini, pengembangan untuk produk kosmetik masih terus berlanjut menggunakan ekstrak lidah buaya. Dalam UII Nanopharmacy Research Center, Yandi sendiri telah berhasil meraih penghargaan dari FAPA Congress 2016 yang digelar di Thailand.
Selain itu, artikel-artikel Yandi terkait itu telah tersedia di Jurnal Scopus Q1, Q2 maupun Q3. Yandi menilai, pengembangan bahan alam masih perlu ditingkatkan lantaran Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan keanekaragaman hayati.
Sumber daya alam yang berlimpah ini, kata Yandi, sebenarnya mampu sediakan berbagai bahan baku untuk pembuatan kosmetik, pangan, pengharum dan bahkan obat-obatan. Tapi, faktanya 90 persen bahan baku farmasi di Indonesia merupakan hasil impor.
"Hal ini menunjukkan ketidakoptimalan dalam pemanfaatan bahan baku yang tersedia," kata Yandi.