Kamis 03 Dec 2020 07:40 WIB

Debenhams Bangkrut Akibat Pandemi

Sebanyak 12 eibu tenaga kerja kehilangan pekerjaan jika Debenhams tak dapatkan buyer.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolandha
Pengunjung menunggu di depan toko Debenhams di Inggris, Rabu (2/12). Sebagai dampak pandemi, Debenhams berencana menghentikan operasinya.
Foto: AP Photo/Matt Dunham
Pengunjung menunggu di depan toko Debenhams di Inggris, Rabu (2/12). Sebagai dampak pandemi, Debenhams berencana menghentikan operasinya.

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Masa depan sekitar 25 ribu lapangan kerja sektor ritel di Inggris berada di ujung tanduk. Dua perusahaan yang sudah lama berdiri mengungkapkan kerentanan akibat tekanan ekonomi selama pandemi virus corona.

Debenhams yang telah lama menderita, jaringan department store berusia 242 tahun, memutuskan menghentikan operasi setelah buyer potensial menarik diri. Rencana ini disampaikan pada Selasa (1/2) dan berpotensi menyebabkan 12 ribu tenaga kerja kehilangan pekerjaan apabila tidak ada buyer yang ditemukan.

Ini menjadi pukulan dahsyat lainnya bagi sektor ritel. Beberapa jam sebelumnya, Arcadia Group, kerajaan ritel miliarder Philip Green masuk ke administrasi, semacam perlindungan kebangkrutan, pada Senin (30/11) malam.

Ritel pakaian direncanakan membuka kembali tokonya di Inggris pada Rabu, setelah sebulan tutup akibat kebijakan lockdown. Sejak pandemi terjadi pada Maret, Inggris diketahui telah memaksa penutupan gerai ritel dengan berbagai cara.

Seperti dilansir di AP News, Rabu, pembukaan kembali 124 toko Debenhams di Inggris diperkirakan tidak akan berlangsung lama. Tapi, para administrator mengatakan, mereka akan terus mencari cara untuk mempertahankan seluruh atau sebagian bisnis, mulai dari menjual saham hingga melikuidasi bisnis.

Debenhams, masuk ke administrasi terkait kebangkrutan pada April dan telah memecat 6.500 pekerja. Mereka berkomitmen terus berjualan baik di offline maupun online untuk bertahan. "Sebagai kesimpulan dari proses ini, jika tidak ada penawaran alternatif yang diterima, operasi di Inggris akan ditutup," kata perusahaan dalam sebuah pernyataan.

Kondisi lebih baik dialami Arcadia. Ritel yang mencakup beberapa merek terkenal seperti Burton, Topshop dan Miss Selfridge masih memiliki masa depan dan administrator kini sedang mencari buyer untuk semua ataupun sebagian perusahaan.

Pada dua hari lalu, Arcadia memanggil administrator dari Deloitte terkait kebangkrutan. Perusahaan menilai, penutupan paksa toko-tokonya pada tahun ini telah berdampak parah pada kinerja perusahaan.

Tapi, Matt Smith dari Deloitte menyebutkan, pihaknya memproyeksikan, akan ada satu atau lebih buyer yang datang untuk memastikan kesuksesan bisnis di masa depan.

Selain menderita pandemi, kritikus menyebutkan, Arcadia menghadapi tantangan lain. Sang pemilik, Green, belum berinvestasi cukup banyak dalam bisnisnya untuk membuat mereka tangguh dalam menghadapi pesaing online baru yang lebih gesit.

Analis mode di Euromonitor International Nina Marston menjelaskan, Arcadia menderita dengan kemunculan para pesaingnya karena perusahaan lambat dalam mengembangkan penawaran online yang inovatif dan ramah pengguna.

Pengamat ritel menyebutkan, pandemi dan pembatasan sosial hanya sebagian dari masalah yang dihadapi sektor ini. Baik Arcadia dan Debenhams harus berjuang menghadapi peningkatan persaingan dari ritel berbiaya rendah seperti Primark dan pelaku usaha ritel online seperti ASOS dan Booho.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement