REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua MPR Bambang Soesatyo mengungkapkan bahwa suksesi kepemimpinan Amerika Serikat (AS) yang telah mengantarkan Joseph Robinette Biden Jr atau Joe Biden sebagai Presiden terpilih AS, adalah isu global yang penting untuk direspon secara cermat, akurat dan terukur.
Hal tersebut sangat penting, mengingat kebijakan-kebijakan yang diputuskan oleh pemerintahan Joe Biden akan sangat berpengaruh dalam membentuk konstelasi geopolitik dan geoekonomi global termasuk Indonesia. Terpilihnya Biden tentunya juga diharapkan dunia akan berimplikasi pada pergeseran atau review dan koreksi terhadap kebijakan pemerintahan AS sebelumnya, terutama kebijakan kontroversial Donald Trumph.
Bagi Indonesia sendiri, hadirnya 'Biden Effect' diharapkan tidak hanya memberikan dampak instan atau sesaat. Tetapi juga mendorong lahirnya kebijakan yang akan memberi nilai kemanfaatan tidak hanya bermanfaat pada tatanan kehidupan global tapi juga bagi kepentingan nasional. Salah satunya soal isu yang ramai sekarang ini yakni isu Natuna.
"Dalam isu tersebut, meskipun Biden nanti akan mengambil kebijakan yang lebih lunak terkait perang dagang dengan Tiongkok, tapi persaingan kedua negara tersebut tetap akan berlangsung. Menyikapi ini, Indonesia harus lebih cerdik dengan mengambil peluang dan manfaat. Namun, tetap berhati-hati dalam mengambil kebijakan," katanya.
Hal tersebut disampaikannya dalam gelar acara Focus Group Discussion (FGD) dengan tema 'Politik Luar Negeri Bebas Aktif dan Kepentingan Ekonomi NKRI di Era Joe Biden' kerjasama MPR dengan Brain Society Center (BS Center), di Ruang Delegasi, Gedung Nusantara IV, Kompleks MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (2/12/2020). Hadir sebagai narasumber utama yakni Pakar Hukum Internasional Prof. Hikmahanto Juwana, Duta Besar RI untuk PBB periode 2004-2007 Prof. Dr. Makarim Wibisono dan Direktur Paramadina Graduate School of Diplomacy Dr. Phil Shiska Prabawaningtyas.
Hadir pula sebagai peserta dan pembahas antara lain, Ketua BS Center Ahmadi Noor Supit, Ketua Dewan Pakar BS Center Prof. Didin S Damanhuri, Rektor UIN Syarief Hidayatullah Prof. Dr. Amany Lubis, Rektor Universitas Trisakti Prof. Dr. Ali Ghufron Mukti, Direktur Eksekutif INDEF Dr. Tauhid Ahmad, Direktur Pascasarjana Universitas Sahid Jakarta Dr. Marlinda Irwanti Puteh, anggota Komisi I DPR RI Fraksi PPP Syaifullah Tamliha, anggota Komisi I DPR RI Fraksi PKS Al Muzammil Yusuf , Ketua BEM IPB Bhirawa Ananditya Wicaksana, Perwakilan Lemhanas Dr. Rosita Noor dan Sekretaris Jenderal MPR Ma’ruf Cahyono.
Ketua MPR dari partai Golkar yang akrab disapa Bamsoet ini juga mengungkapkan bahwa ada beberapa aspek kepentingan yang diharapkan akan memberikan angin segar kepada Indonesia pasca terpilihnya Biden selain penyelesaian sengketa Laut Cina Selatan, yakni penguatan kemitraan strategis Indonesia- AS dan peningkatan kerjasama bilateral khususnya bidang perekonomian yang ditandai dengan meningkatnya nilai investasi 'negeri paman Sam' di Indonesia.
Harapan itu, lanjutnya, tentu tidak berlebihan mengingat hingga saat ini Indonesia dengan segala potensi yang dimiliki masih dipandang sebagai negara yang paling berpengaruh baik dalam bidang perekonomian maupun dalam menjaga stabilitas kawasan Asia Tenggara.
"Yang penting diingat adalah harapan yang kita dambakan dari pemerintahan Joe Biden bukanlah sesuatu yang 'given'. Tetapi, sesuatu yang memang harus kita diperjuangkan. Mengapa? Karena implementasi kebijakan AS baik dibidang politik dan ekonomi tentunya dilakukan dalam kerangka melindungi kepentingan nasional AS sendiri . Artinya, kita akan membutuhkan kemampuan bernegoisiasi yang handal dalam melakukan lobi-lobi untuk kepentingan nasional kita dengan pemerintahan baru AS," katanya.
Bamsoet mengingatkan bahwa Indonesia bukanlah negara satu satunya yang berharap manfaat dari suksesi kepemimpinan AS itu. Untuk itu, peningkatan daya saing Indonesia adalah satu kebutuhan yang wajib dipenuhi dan terus dikembangkan. Sebab, kehadiran pemerintahan baru Joe Biden bukan hanya menghadirkan peluang atau harapan baru. Tapi, juga tantangan yang harus dijawab bangsa ini dengan peningkatan daya saing pada seluruh sektor pembangunan.
Bamsoet mengajak masyarakat Indonesia menyadari bahwa apapun harapan dan keinginan bangsa ini pasca suksesi kepemimpinan AS, dalam konteks hubungan internasional, Indonesia adalah negara yang berdaulat dalam menentukan sikap dan pendirian politik, sehingga tidak boleh terombang ambing oleh arus politik global. Yang juga mesti dipahami rakyat, Indonesia ternyata merupakan surga bagi pasar dunia karena kita memiliki jumlah penduduk yang besar sekitar 250 juta lebih, dengan ekonomi yang lumayan bagus.
"Kita juga memiliki sumber daya alam yang luarbiasa besar, dan beberapa di antaranya tidak ada di dunia hanya kita saja yang memilikinya. Potensi besar inilah yang menjadi incaran banyak pihak sehingga Indonesia terlihat sebagai gadis molek umur tujuh belasan tahun," ujarnya.
Bamsoet berharap, kegiatan FGD ini pada akhirnya akan melahirkan gagasan-gagasan atau pemikiran-pemikiran yang konstruktif serta memperkaya perspektif bangsa Indonesia dalam memaknai dinamika politik dan ekonomi global.
FGD sendiripun berjalan lancar dengan menampilkan pemaparan dari para pakar terkait tema yang diusung, salah satunya Pakar Hukum Internasional Prof. Hikmahanto Juwana yang mengungkapkan bahwa pasca terpilihnya Joe Biden sebagai Presiden AS, banyak negara di kawasan Asia Pasifik termasuk Indonesia akan mendapatkan dampak positif.
“Hanya saja di era Biden, Indonesia harus waspada. Bukan tidak mungkin Biden akan mencermati dan memperhatikan isu HAM dalam penanganan separatisme. Sebab, Indonesia secara konsisten telah mendapat kritikan dari Presiden AS asal partai Demokrat, baik Jimmy Carter maupun Bill Clinton. Pada masa Barrack Obama pun banyak pihak yang meminta agar Obama bisa mengintervensi Indonesia dalam penanganan masalah HAM. Di sini Indonesia harus siap dan memiliki sejumlah argumentasi jika Biden mempermasalahkan nanti,” katanya.
Namun, menurut Hikmahanto, isu HAM ini tidak akan sampai menganggu penguatan kerjasama pertahanan AS-Indonesia maupun perpanjangan Generalized System of Preferences (GSP). Dua hal ini tidak mungkin dikompromikan oleh AS dengan isu HAM dalam penanganan separatisme oleh Indonesia. “Ini karena Indonesia oleh AS dianggap penting dalam menghadapi China,” tambahnya.