REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ali Mansur, Dian Fath Risalah, Antara
Astri Kandi belum bisa menghilangkan rasa takutnya pascapembunuhan anggota keluarga di permukiman transmigrasi Dusun Lewano, Desa Lembantongoa, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Astri yang kehilangan suami juga orang tuanya secara keji di rumahnya sendiri itu masih merasa takut.
''Saya tidak mau kembali ke situ meski pemerintah membangun rumah saya yang ludes diduga dibakar oleh kelompok MIT (Mujahidin Indonesia Timur),'' kata Astri Kandi, Kamis (3/12). Astri meminta pemerintah membangunkan rumah tetapi tidak lagi di lokasi transmigrasi tersebut.
Bukan hanya dia, melainkan juga warga lainnya enggan kembali sebab selain rumah mereka sudah rata tanah karena dibakar, juga mengalami trauma berat atas peristiwa berdarah yang menelan korban jiwa empat orang, semunya laki-laki.
Astri memang tidak hanya kehilangan tempat. Ia juga harus berpisah dengan orang-orang tersayangnya. ''Mereka menjadi korban dalam serangan teroris yang kini tengah diburu oleh pasukan gabungan TNI/Polri,'' katanya.
Lokasi transmigrasi Dusun Lewono berada jauh dari lokasi transmigrasi (SP-1) Dusun Tokelemo, Desa Lembantongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi. Lokasi itu, kata dia, berada di puncak gunung dan merupakan transmigrasi lokal.
''Kalau transmigrasi Dusun Tokelemo adalah transmigrasi umum dari Jawa," ujarnya.
Lokasi trasmigrasi di Dusun Lewono, kata Astri Kandi, selain berada di atas gunung, juga terbilang masih kurang penduduknya. Kini, dia bersama tiga anaknya yang masih kecil terpaksa menumpang di rumah keluarga di Desa Lembantongoa.
Kepala Desa Lembantongoa, Deki Basalulu, membenarkan kebanyakan warga transmigrasi di Dusun Lewono, wilayah yang diserang oleh kelompok MIT dan menewaskan empat warga trasmigrasi lokal tersebut enggan kembali karena khawatir akan keselamatan jiwa mereka. ''Mereka tidak mau kembali lagi ke lokasi itu,'' kata Kades Lembantongoa.
Selama beberapa hari terakhir ini, kata Deki Basalulu, aparat gabungan TNI/Polri sedang memburu para teroris. Guna memberikan rasa aman bagi masyarakat Desa Lembantongoa, kata Deki, telah dibangun empat titik pos penjagaan di wilayah tersebut.
Pemerintah desa dan masyarakat Desa Lembantongoa sangat berharap TNI/Polri dalam jangka waktu tidak terlalu lama bisa menangkap semua teroris MIT Poso. Dia pun mengajak semua warga untuk terus berdoa agar aparat secepatnya dapat menumpas habis para teroris.
Sementara pelaku teror belum tertangkap, Deki minta warganya tetap waspada. ''Ya, kalau mau pergi ke kebun, yang dekat-dekat saja dari permukiman penduduk,'' kata dia.
Menurut Deki, banyak kebun masyarakat Desa Lembantongoa yang jaraknya relatif cukup jauh berbatasan dengan hutan. Ia menyarankan kepada warganya untuk sementara jangan dahulu beraktivitas jauh-jauh dari rumah, meski saat ini di sekitar desa sudah cukup banyak petugas gabungan TNI/Polri.
Desa Lembantongoa merupakan wilayah yang dikelilingi hutan dan belum memiliki prasarana jalan yang memadai. Akes menuju desa itu baru sebagian badan jalannya yang sudah dicor semen. Saat curah hujan meningkat, sering badan jalan tertimbun sehingga tidak bisa dilalui kendaraan sepeda motor dan mobil.
Saat ini, kata Kades Lembantongoa, ada 49 kepala keluarga (KK), termasuk dari Dusun Lewono, dan sekitarnya yang mengungsi sementara di Dusun Tokelemo (SP-1) dan sebagian lagi di Desa Lembantongoa.
Meski sudah ada bantuan untuk keluarga korban dan para pengungsi, menurut Deki, mereka masih tetap membutuhkan, terutama logistik bahan makanan, pakaian, dan juga peralatan dapur. "Ada beberapa keluarga yang sama sekali tidak lagi memiliki tempat tinggal karena rumahnya dibakar teroris MIT saat peristiwa itu terjadi," katanya.
Anto, warga Dusun Tokelomo, membenarkan sejak peristiwa itu hingga kini warga takut beraktivitas di kebun. Warga lebih banyak tinggal di rumah, kecuali yang kebunnya di dekat rumah "Itu pun tidak lama-lama hanya mengambil sayuran untuk dimasak,'' kata Anto.
Kemarin, Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Awi Setiyono menyebut kelompok teroris MIT tengah dalam posisi terdesak di tempat persembunyiannya. Bahkan kelompok dibawa pimpinan Ali Kalora itu sudah kehabisan persediaan makanan. Jadi untuk menyambung hidup, mereka mencuri dan merampok stok makanan warga setempat.
"Mereka sudah terdesak ini, karena kehabisan bekal sehingga yang terjadi meneror masyarakat dan meminta makan,” jelas Awi dalam konferensi pers di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Rabu (2/12).
Memang, kata Awi, biasa kelompok teroris Ali Kalora tersebut merampas dengan cara tanpa melakukan penganiayaan. Tetapi dalam aksi perampasan yang terjadi di Sigi terjadi perlawanan, sehingga berakibat pada pembantaian satu keluarga dan pembakaran rumah.
“Kemarin karena ada perlawanan tidak diberi sehingga yang terjadi demikian (pembantaian),” tutur Awi.
Karena kehabisan bekal makanan, kelompok MIT itu keluar dari tempat pelarian. Awi menganggap keluar dari persembunyian adalah pilihan rasional yang mereka ambil menyusul stok makanan yang tersedia di lokasi sembunyi sudah menipis. Kebiasaan keluar masuk dari lokasi sembunyi ini yang bakal dipelajari Polri dalam upaya penangkapan.
"Kita serahkan saja sama tim, sudah berjalan di sana. Mereka juga sudah didukung dengan kemampuan dan sarana prasarana yang memadai. Sehingga semoga permasalahan gegrafis, alam ini bisa segera kita atasi," terang Awi.
Imparsial mengecam aksi kekerasan dan pembunuhan yang terjadi di Sigi. Satu keluarga yang terdiri dari empat orang, di antaranya mertua, anak dan menantu, dibunuh oleh orang tidak dikenal yang diduga merupakan anggota MIT.
Tak hanya itu, para pelaku juga membakar rumah warga, serta beberapa fasilitas masyarakat lainnya di Dusun Lewonu. Peristiwa ini juga mengakibatkan sejumlah kepala keluarga (KK) di desa tersebut diungsikan untuk mengantisipasi terjadinya hal yang tidak diinginkan.
"Kami mengucapkan belasungkawa yang sedalam-dalamnya bagi keluarga yang ditinggalkan. Kami mendorong agar aparat kepolisian untuk dapat segera menangkap dan menghukum pelaku teror sesuai aturan hukum yang berlaku," tegas Wakil Direktur Imparsial, Ghufron Mabruri, dalam pesan singkatnya.
Upaya melakukan pengejaran dan penangkapan terhadap pelaku harus dilakukan dengan prinsip kehati-hatian dan sesuai dengan aturan hukum agar tidak mengakibatkan jatuhnya korban jiwa yang tidak bersalah. Imparsial menekankan, segala bentuk kekerasan dan pembunuhan yang menjadikan masyarakat sebagai target sasaran tidak dibenarkan dengan dalih dan alasan apapun.
"Tindakan tersebut adalah tindakan yang tidak beradab dan tindakan melawan hukum yang harus diusut hingga tuntas. Aksi-aksi teror terhadap masyarakat merupakan bentuk tindakan yang tidak bisa di benarkan dengan dalih dan alasan apapun, " ujarnya.
Imparsial menegaskan negara harus hadir untuk memastikan rasa aman di masyarakat. Negara, lanjutnya, harus dapat memastikan bahwa tindakan serupa tidak lagi terjadi di masa datang.
"Untuk itu, aparat keamanan perlu memastikan jaminan rasa aman masyarakat di Sulawesi Tengah dengan langkah-langkah yang lebih antisipatif dan lebih terukur, " kata dia.
Selain itu, peran serta tokoh masyarakat dan tokoh agama selama ini di Provinsi Sulawesi Tengah dalam menenangkan masyarkat agar tidak terpancing atas aksi teror yang terjadi menjadi sesuatu hal yang penting. Aksi-aksi teror dan upaya pencegahan konflik tidak cukup hanya mengandalkan peran negara untuk mengatasinya tetapi peran serta masyarakat selama ini menjadi penting dilakukan.
"Imparsial mendesak kepada negara untuk melakukan pemulihan keadaan dan memenuhi hak-hak korban kekerasan dan teror di Kabupaten Sigi, baik terhadap keluarga korban meninggal dunia maupun yang mengalami luka-luka, sebagaimana diatur dalam UU No. 5 tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Selain itu, Negara harus memberikan jaminan keselamatan, keamanan, serta kebutuhan bagi warga masyarakat yang terkena dampak dari aksi teror yang terjadi, " tuturnya.