REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Penyelenggara Olimpiade Jepang melaporkan aplikasi seluler dapat menjadi salah satu langkah memantau kesehatan penonton dari luar negeri jika mereka diizinkan untuk menghadiri Olimpiade Tokyo tahun depan. Laporan sementara tentang kemungkinan penyelenggaraan Olimpiade Tokyo bocor pada Rabu lalu.
Laporan yang disusun oleh pemerintah Jepang, pemerintah kota Tokyo, dan penyelenggara lokal itu bocor pada hari sebelumnya oleh surat kabar Jepang Nikkei. Hal itu disambut respons tidak bahagia dari warga Jepang yang takut Olimpiade dapat membahayakan kesehatan mereka dengan kehadiran warga asing.
Jepang, dengan populasi 125 juta, telah mengendalikan virus lebih baik daripada kebanyakan negara dengan lebih dari 2.100 kematian yang dikaitkan dengan Covid-19. Akan tetapi Tokyo telah mengalami rekor jumlah infeksi dalam beberapa pekan terakhir.
Toshiro Muto selaku CEO dari panitia penyelenggara lokal menjelaskan beberapa temuan dari laporan tersebut. Beberapa poin dalam laporan mungkin dibuang karena kondisi berubah dan hampir semuanya dapat direvisi.
"Secara umum, kami ingin dapat menyelesaikan detailnya pada musim semi mendatang," kata Muto dilansir Arab News pada Kamis (3/12).
Muto mengatakan berbagai persiapan sedang dimatangkan dengan kemungkinan vaksin Covid-19 segera keluar. Namun ia mengungkapkan Olimpiade tahun ini akan terasa berbeda dari sebelumnya akibat pandemi.
"Jika pertandingan diadakan dalam kondisi pandemi Covid-19, saya kira Olimpiade tidak akan semeriah sebelumnya," ujar Muto.
"Kami memutuskan untuk mengadakan Olimpiade sederhana. Karena itu, seperti yang Anda lihat dalam perencanaan upacara pembukaan, Olimpiade Tokyo akan lebih sederhana," lanjut Muto.
Dia juga ditanya apakah penonton Olimpiade dari luar negeri akan diminta untuk divaksinasi. "Itu adalah skenario yang akan kami periksa setelah vaksin benar-benar tersedia," sebut Muto.
Muto belum bisa merinci tentang biaya penundaan Olimpiade selama satu tahun. Beberapa surat kabar Jepang melaporkan dengan mengutip sumber yang tidak disebutkan namanya, bahwa biaya penundaan akan mencapai sekitar 3 miliar dolar atau Rp 42 triliun. "Kami sedang menghitung berapa biayanya," ucap Muto.
"Kami ingin mengambil keputusan secepat mungkin, tetapi kapan keputusan itu akan datang - saya tidak bisa memberi Anda tanggal tertentu. Namun di akhir tahun kami ingin berusaha memberikan jawaban," tambah Muto.