REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) di Baghdad telah menarik sebagian stafnya, Kamis (3/12) waktu setempat. Penarikan staf itu terjadi menjelang setahun pembunuhan jenderal Iran Qassem Soleimani di ibu kota Irak.
Menurut Washington Post, yang dilansir laman Daily Sabah, penarikan tersebut akan berlanjut hingga seusai peringatan pembunuhan Soleimani. Januari tahu lalu, Soleimani tewas dalam serangan pesawat tak berawak Amerika Serikat (AS) di dekat bandara Baghdad. Pembunuhannya membawa musuh bebuyutan berusia puluhan tahun, Iran dan AS ke ambang konflik.
Washington memang murka dengan puluhan serangan roket dan bom pinggir jalan yang menargetkan kedutaan AS dan instalasi militer AS lainnya di Irak selama setahun terakhir. Penarikan parsial itu dinilai sebagai hasil perihal keamanan baru.
"Ini adalah penurunan kecil berdasarkan pada reservasi keamanan dari pihak AS. Mereka bisa kembali. Ini hanya gangguan keamanan," kata sumber senior yang tidak bersedia menyebutkan jati dirinya.
"Kami tahu sebelumnya dan staf diplomatik teratas termasuk duta besar akan tetap tinggal, jadi ini bukan pemutusan hubungan diplomatik," ujarnya menambahkan."
Seorang pejabat tinggi kedua mengonfirmasi bahwa penarikan staf Kedubes AS adalah upaya untuk meminimalkan risiko. Tidak ada yang bisa mengatakan berapa banyak dari beberapa ratus diplomat yang berbasis di kedutaan telah ditarik keluar.
Seorang juru bicara Departemen Luar Negeri AS menolak mengomentari penarikan teraebut. Namun dia menegaskan bahwa keselamatan pejabat, warga negara, dan fasilitas AS di Irak tetap menjadi prioritas tertinggi negara. Juru bicara tersebut mengatakan Duta Besar AS Matthew Tueller masih berada di Irak dan kedutaan itu terus beroperasi.
Washington menyalahkan serangan roket dan bom yang meledak di pinggir jalan pada kelompok garis keras pro-Iran di Irak. AS juga telah membalas dua kali dengan mengebom salah satu faksi, Kataib Hezbollah.
Ketika serangan berlanjut, AS mengeluarkan ultimatum ke Irak, mengancam akan menutup sepenuhnya kedutaan besarnya. Ancaman tersebut mendorong faksi-faksi yang berpihak pada Iran untuk menyetujui gencatan senjata pada pertengahan Oktober, dan serangan dengan cepat dihentikan.
Pada 17 November, satu tembakan roket menghantam beberapa lingkungan Baghdad yang menewaskan seorang gadis. Para pejabat tinggi Irak dan Barat mengatakan pada saat itu bahwa mereka memperkirakan gencatan senjata akan berlangsung, namun Washington tetap menyusun rencana penarikan.
Seorang pejabat Barat mengatakan bahwa AS sedang mempelajari tiga opsi, termasuk penarikan sebagian. "Mereka sedang menjajaki penarikan kedutaan hanya untuk duta besar dan staf diplomatik utama," kata pejabat itu.
Para pejabat Irak dan Barat pun meramalkan pergolakan beberapa pekan menjelang penyerahan Gedung Putih dari Presiden Donald Trump. Pemerintah Trump mengejar kebijakan "tekanan maksimum" terhadap Iran yang juga menekan sekutunya di Irak. Mereka tidak mengesampingkan aksi militer menit-menit terakhir oleh pemerintahan Trump terhadap kepentingan Iran di Irak.
"Ada perasaan bahwa masih ada beberapa minggu lagi (sebelum Trump meninggalkan jabatannya) dan siapa yang tahu apa yang bisa terjadi," kata pejabat Barat yang meminta namanya dianonimkan itu.
Bulan lalu, otoritas AS mengumumkan bahwa pihaknya akan mengurangi jumlah pasukannya di Irak dari sekitar 3.000 menjadi 2.500 pada 15 Januari tahun depan.