REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Direktur Intelijen Nasional Amerika Serikat (AS) John Ratcliffe mengatakan China merupakan ancaman terbesar bagi demokrasi dan kebebasan sejak Perang Dunia II. Beijing dianggap memiliki kecendurungan untuk melakukan dominasi global.
"Intelijennya jelas, Beijing bermaksud mendominasi AS dan seluruh planet secara ekonomi, militer, dan teknologi," kata Ratcliffe dalam sebuah opini yang dipublikasikan di situs Wall Street Journal pada Kamis (3/12).
Dia secara gamblang menyebut China sebagai ancaman terbesar AS saat ini. "Dan ancaman terbesar bagi demokrasi serta kebebasan di seluruh dunia sejak Perang Dunia II," tulisnya.
Ratcliffe mengungkapkan dia telah mengalihkan sumber daya dalam anggaran federal sebesar 85 miliar dolar AS untuk kegiatan intelijen yang berfokus pada China. Menurutnya, ada tiga pendekatan spionase ekonomi China, yakni Rob, Replicate, and Replace.
Dia menjelaskan, entitas China mencuri hak kekayaan intelektual perusahaan AS, menyalinnya, kemudian menggantikan perusahaan asal Negeri Paman Sam di pasar global. Tak hanya itu, Ratcliffe turut menuduh Beijing mencuri teknologi pertahanan AS.
Menurut dia, China sedang berupaya mendorong rencana modernisasi militer agresif Presiden Xi Jinping. Ratcliffe menuduh China telah melakukan pengujian manusia di kemiliteran. Beijing disebut hendak mengembangkan tentara dengan kemampuan yang ditingkatkan secara biologis. Dia tak menjelaskan lebih terperinci tentang hal tersebut.
Seorang juru bicara Kedutaan Besar (Kedubes) China di AS enggan berkomentar banyak tentang pernyataan Ratcliffe. Dia hanya menyebut semua yang dilontarkan Ratcliffe adalah pemutarbalikan fakta. "Tidak ada yang pantas mendapatkan gelar Empire of Hacking and Spying lebih baik dari AS," katanya.
Menurut juru bicara Kedubes Cina komentar Ratcliffe menunjukkan pola pikir Perang Dingin yang mengakar. Di sisi lain, hal itu menunjukkan adanya prasanga ideologis dari beberapa orang di pihak AS.
Opini Ratcliffe adalah langkah terbaru dari pemerintahan Presiden Donald Trump untuk menentang China. Trump dinilai ingin memperdalam friksi dengan Beijing sebelum menanggalkan jabatannya.
Pakar Asia di Center for Strategic and International Studies Bonnie Glaser mengatakan, komentar Ratcliffe tampaknya bertujuan mengunci pendekatan yang sulit sebelum politikus Partai Demokrat Joe Biden mengambil alih kursi utama Gedung Putih. "Tampaknya itu adalah bagian dari upaya yang lebih luas untuk mengikat tangan Biden dan membatasi ruangnya untuk bermanuver pada kebijakan Cina," kata Glaser.
Dia menjelaskan dalam pemerintahan sebelumnya, normanya adalah menghindari mengambil tindakan semacam itu selama transisi kepresidenan. "Tapi pemerintahan Trump telah lama menetapkan pola yang melanggar norma," ucapnya.
Berita Terkait Kaitkan