REPUBLIKA.CO.ID, CHRISTCHURCH -- Komunitas Muslim di Selandia Baru mengatakan, badan keamanan negara itu meremehkan ancaman kemungkinan serangan teror atas peristiwa di Christchurch. Mereka juga menuding keamanan telah memberikan informasi yang salah kepada publik menjelang serangan teror Christchurch yang mematikan.
Federasi Asosiasi Islam secara terbuka merilis pengajuannya kepada Komisi Kerajaan untuk menyelidiki serangan teror masjid Christchurch. Komunitas Muslim Selandia Baru disebut sangat rentan menyusul meningkatnya kasus serangan di banyak negara.
“Kami tahu kami rentan terhadap serangan seperti itu. Kami tidak tahu siapa, kapan, apa, di mana, atau bagaimana. Tapi kami tahu, narasi keamanan kami benar, pihak keamanan resmi NZIC (Komunitas Intelijen Selandia Baru) tidak akurat, dan memberikan informasi yang salah kepada Selandia Baru," kata laporan itu, menurut New Zealand Herald, dilansir di 5 Pillars UK, Rabu (2/12).
Komunitas Muslim mengatakan, serangan tersebut menyoroti disfungsi sistemik di beberapa lembaga pemerintah karena mereka tidak mempertimbangkan ancaman serangan teror terhadap komunitas Muslim. Komunitas intelijen Selandia Baru disebut gagal mengantisipasi atau merencanakan pengamanan serangan teror.
Laporan federasi juga menyatakan bahwa Departemen Perdana Menteri dan Kabinet tidak cukup memantau kemungkinan risiko.
“DPMC tidak menilai risiko domestik dan eksternal dari signifikansi keamanan nasional dan mengoordinasikan saran kebijakan dan pembuatan kebijakan untuk memastikan risiko dikelola dengan tepat,” kata laporan itu.
Laporan tersebut juga menunjukkan kurangnya keragaman dalam jaringan intelijen negara. Federasi tersebut mengeklaim komunitas Muslim dibiarkan "tak berdaya" karena kegagalan sistemik selama beberapa dekade untuk merekrut, mengembangkan, dan mempromosikan staf yang beragam secara etnis dan agama yang mencerminkan perubahan demografi, nilai, pengalaman, dan perspektif Selandia Baru.
Federasi juga mengeklaim teroris tidak akan pernah mendapatkan lisensi senjata api jika petugas telah mengikuti prosedur yang tepat. Federasi juga percaya jika polisi telah melakukan pemeriksaan latar belakang dengan benar terhadap pria bersenjata itu, dia tidak akan mendapatkan lisensi dan berada di radar mereka sebagai ancaman potensial.
“Komunitas intelijen dan polisi Selandia Baru dapat dan seharusnya mengetahui tentang teroris Christchurch karena perilaku ekstremisnya secara online dan offline. Lalu, memantaunya dengan cermat untuk mencari tanda-tanda niat dan kemampuan melakukan atau mendanai serangan teroris, baik di Selandia Baru atau di luar negeri, serta dampak dan kesegeraan potensi serangan," jelas laporan tersebut.
Laporan Komisi Kerajaan atas serangan teroris telah diserahkan kepada pemerintah dan akan diperlihatkan kepada keluarga korban dan penyintas penembakan sebelum dirilis ke publik. Pemerintah mengharapkan kasus ini selesai sebelum Natal. Penembakan massal berturut-turut terjadi di dua masjid di Christchurch, Selandia Baru, saat shalat Jumat pada 15 Maret 2019. Pria bersenjata bernama Brenton Tarrant berkebangsaan Australia itu menewaskan 51 orang dan melukai 40 lainnya.