REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Ahmad Yani mengaku tak mengenal dekat Anton Permana, tersangka kasus ujaran kebencian dan penghasutan demo menolak Undang-Undang Omnibus Cipta Kerja pada Oktober lalu. Ahmad Yani dipanggil Bareskrim Polri sebagai saksi atas kasus tersebut yang menjerat Anton Permana, juga sebagai salah satu Deklarator KAMI.
Meski satu organisasi di KAMI, Yani mengaku baru mengenal Anton saat menjelang deklarasi KAMI pada Agustus lalu. Ia juga mengaku tidak terlibat terkait dugaan adanya ajakan untuk membuat rusuh melalui akun media sosial pada saat unjuk rasa besar-besaran menolak Undang-undang Omnibuslaw Ciptakerja.
"Saya enggak begitu kenal dekat juga sama Anton. Kenal Anton itu menjelang-menjelang deklarasi KAMI saja," tegas Yani di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Jumat (4/12).
Oleh karena itu, Yani melihat sejak awal pihak kepolisian seakan-akan menyeret dirinya dalam kasus ini. Sebab, sedari awal panggilan pertama, polisi belum bisa menjelaskan apa kapasitas dirinya dalam kasus tersebut. Apalagi dirinya, tidak ada keterlibatan dalam segala mobilisasi untuk memprovokasi massa aksi demo melalui media sosial, khsusunya dalam WhatsApp.
“Pertama kalau menyangkut WA. WA saya sudah saya tidak ubah-ubah. Nomor handphone juga tidak mengenakan media sosial. Jauh sebelum deklarasi juga WA saya itu blank,” tutur Yani.
Sejauh ini, Bareskrim Polri sudah menetapkan sembilan tersangka yang diduga menghasut kericuhan selama demonstrasi menolak Undang-undang. Omnibuslaw Ciptaker, termasuk Anton Permana. Para tersangka dijerat dengan pasal beragam, mulai dari Undang-Undang Informatika dan Transaksi Elektronik (ITE), ujaran kebencian berdasarkan SARA, hingga pasal KUHP tentang penghasutan.
Dalam kasus ini, tersangka Anton Permana diduga menulis ujaran kebencian dengan tendensi menyudutkan salah satu etnis dan institusi pemerintah dalam akun Facebook dan YouTube. Seperti menulis ‘Multifungsi Polri melebihi dwifungsi ABRI.’ Kemudian ‘NKRI jadi Negara Kepolisian Republik Indonesia. Ia juga diduga ‘Disahkan UU Ciptaker bukti negara telah dijajah. Dan juga negara tak kuasa lindungi rakyatnya, negara dikuasai cukong, VOC gaya baru.’