REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi akhirnya melakukan penahanan terhadap tersangka korupsi di tubuh PT Garuda Indonesia, Hadinoto Soedigno (HDS). Direktur Teknik dan Pengelolaan Armada PT Garuda Indonesia 2007-2012 diduga telah menerima suap dan melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
"Untuk kepentingan penyidikan perkara baik tindak pidana korupsi maupun TPPU, penyidik KPK melakukan penahanan di Rumah Tahanan KPK cabang Pomdam Jaya Guntur untuk 20 hari sampai dengan 23 Desember 2020," kata Deputi Penindakan KPK Karyoto dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (4/12).
Dalam proses penyidikan, lembaga antirasuah itu menemukan fakta bahwa uang yang diterima HDS tidak hanya berasal dari perusahaan Rolls-Royce. Sumber suap tersbut juga berasal dari pihak terkait proyek-proyek yang dilakuan oleh Garuda Indonesia.
Dia menjelaskan, sumber suap itu salah satunya berasal dari program peremajaan pesawat. HDS bersama Direktur Utama Garuda Indonesia 2005-2014 Emirsyah Satar (ESA) menerima suap dari Direktur PT Mugi Rekso Abadi (MRA) Soetikno Soedarjo (SS).
ESA melakukan beberapa kontrak pembelian dengan empat pabrikan pesawat pada 2008-2013 dengan nilai miliaran dolar Amerika Serikat (AS). Diantaranya kontrak pembelian mesin Trent seri 700 dan perawatan mesin dengan perusahaan Rolls Royce.
Kontrak pembelian pesawat Airbus A330 dan Airbus A320 dengan perusahaan Airbus S.A.S, kontrak pembelian pesawat ATR 72-600 dengan perusahaan Avions de Transport Regional (ATR) dan kontrak pembelian pesawat Bombardier CRJ 1000 dengan perusahaan Bombardier Aerospace Commercial Aircraft.
Selaku Konsultan Bisnis dari Rolls-Royce, Airbus dan ATR, SS diduga telah menerima komisi dari tiga pabrikan tersebut. Selain itu, SS juga diduga menerima komisi dari perusahaan Hong Kong bernama Hollingsworth International Ltd (HMI) yang menjadi Sales Representative dari Bombardier.
Pembayaran komisi tersebut diduga terkait dengan keberhasilan SS dalam membantu tercapainya kontrak antara Garuda Indonesia dan empat pabrikan tersebut. SS selanjutnya memberikan sebagian dari komisi tersebut kepada ESA dan HDS sebagai hadiah atas dimenangkannya kontrak oleh empat pabrikan.
SS diduga memberi Rp 5,79 milyar untuk pembayaran rumah beralamat di Pondok Indah, USD 680 ribu dan EUR 1,02 juta untuk ESA. Uang tersebut dikirim ke rekening perusahaan milik ESA di Singapura. SS juga membantu melunasi apartemen milik ESA di Singapura senilai 1,2 juta dolar Singapura.
Sementara, Karyoto menjelaskan, SS diduga memberi 2,3 juta dolar AS dan 477 ribu Euro kepada HDS. Gelontoran dana tersebut dikirim ke rekening HDS di Singapura.
ESA dinyakan terbukti bersalah melakukan TPPU sebagaimana Pasal 3 UU TPPU jo.Pasal 55 ayat 1 ke 1 dan Pasal 65 (1) KUHP. Dia dipidana penjara selama 8 tahun dan denda sebesar Rp 1 miliar subsider bulan kurungan selama 3 bulan.
Sedangkan SS divonis 6 tahun penjara ditambah denda sebesar Rp 1 miliar subsider 3 bulan kurungan. Keduanya tengah mengajukan proses upaya hukum Kasasi atas putusan tersebut.
Sedangkan HDS diduga melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Juncto Pasal 64 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Dia juga diduga melanggar pasal 3 dan atau pasal 4 dan atau pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.