REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizky Suryarandika
Suara sirene ambulans bertalu-talu bergantian masuk Tempat Pemakaman Umum (TPU) Tegal Alur, Kecamatan Kalideres, Jakarta Barat, pada Jumat (4/12). Petugas ambulans dan sebagian penggali makam menggunakan alat pelindung diri (APD). Mereka tengah menguburkan jenazah yang meninggal karena Covid-19.
Suara tangis jarang terdengar selama pemakaman, begitu juga wajah murung nan jarang terlihat. Harap maklum, hanya anggota keluarga yang bersikukuh datang saja yang hadir di pemakaman kala pandemi Covid-19 melanda.
Namun, tampak belasan petugas penggali makam berseragam hijau sedia di sana di bawah terik matahari. Satu traktor berwarna biru bergerak hilir mudik mengeruk lubang demi lubang jenazah. Para penggali makam siap menguburkan jenazah Covid-19 dengan segala risikonya.
Endang menjadi salah satu petugas penggali makam jenazah Covid-19. Endang menceritakan tugasnya sejak Maret itu lebih banyak dukanya.
Endang dan rekan sesama penggali makam kesulitan mendapat APD memadai. Jatah APD medis tidak dapat memenuhi kebutuhan di lapangan.
APD yang hanya bisa dipakai sekali, tak sebanding dengan jumlah jenazah yang dimakamkan tiap hari. Mereka terpaksa menggunakan jas hujan sekali pakai yang difasilitasi pengelola TPU.
Endang menyebut, biasa menggali belasan makam sebelum TPU Pondok Rangon yang menjadi rujukan jenazah Covid-19 penuh. Sejak pertengahan November, Endang menggali minimal 25 lubang makam per hari bersama anggota timnya yang berjumlah enam orang karena kapasitas TPU Pondok Rangon kian tipis.
Total jumlah penggali makam di sana sebanyak 32 orang plus anggota perbantuan empat orang. Mereka bekerja 24 jam secara bergantian sejak Covid-19 melanda.
"Paling banyak sampai pernah gali 38 lubang (makam) dalam sehari itu sekitar dua hari lalu," kata Endang saat diwawancara Republika di lokasi, Jumat.
Endang pun sebenarnya tak cuma menggali makan jenazah Covid-19. Ia tetap menunaikan tugas rutin penggali makam jenazah umum yang diurus warga ke TPU Tegal Alur. Kelelahan sudah menjadi hal lumrah baginya. Beruntung, ia dan rekan-rekannya belum ada yang tertular Covid-19.
Pria berusia 42 tahun itu mengharapkan bantuan APD medis sebanyak mungkin agar lebih merasa tenang saat menggali kubur. Endang selama bekerja selalu berusaha mematuhi protokol kesehatan mencakup 3M (mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak).
Namun, rasa khawatir tertular Covid-19 lalu menularkan ke keluarga ada di benaknya. Apalagi, dirinya setiap hari bersinggungan dengan jenazah Covid-19.
"Kekhawatiran ada. Tapi, terserah Allah saja. Pasrah saja karena virusnya enggak kelihatan," ujar pria beranak dua itu.
Endang sempat seperti tersambar angin surga ketika mendengar kabar petugas penggali makam akan mendapat kompensasi tambahan. Kabar ini seolah buah manis atas keringatnya.
Tetapi, hingga sekarang, belum jelas berapa nominal dan kapan kompensasi itu diberikan. Endang yang telah 11 tahun menjadi penggali makam cukup beruntung memiliki gaji dengan besaran UMP Jakarta alias bukan pekerja honorer.
Cerita duka juga disampaikan Arifin, rekan satu tim Endang. Arifin menuturkan, justru lebih banyak mendapat sindiran dan cacian dari keluarga pengiring jenazah.
Saat awal pandemi, penjagaan di TPU begitu ketat hingga sulit dimasuki. Tapi, kini larangan hadir ke pemakaman jenazah Covid-19 tinggal kata-kata manis. Keluarga inti tetap diizinkan menemani pemakaman hingga tuntas asalkan memakai masker.
Selama proses inilah, beberapa kali, Arifin mendapat perlakuan tak sedap. Salah satunya, keluarga ingin mengambil kembali jenazah setelah hasil negatif Covid-19-nya keluar. Kemudian, hinaan yang menganggap enteng tugas penggali makam.
Padahal, Arifin menganggap tugasnya saat ini terbilang mulia karena belum tentu ada orang lain yang mau melakukannya.
"Mereka harusnya mikir, mau siapa lagi yang ngubur. Pake segala dikatain saya tidak manusiawi lah, dibilang seperti ngubur hewan lah," ujar Arifin.
Arifin menganggap sebagian besar keluarga jenazah sebenarnya berpendidikan. Tetapi, ia heran, mengapa tak bisa memperlakukannya dengan sopan.
"Coba saja kita kerjanya dibalik. Saya bayar Anda buat lubang makam juga mampu," keluh Arifin dari dalam hati saat mendapat cacian.
Arifin sebenarnya hanya mengharapkan apresiasi dari keluarga jenazah. Bukan pemberian dalam bentuk nominal uang saja. Ucapan terima kasih bagi Arifin sudah menjadi pelipur lelahnya usai menggali makam.
"Mereka enggak tahu lelahnya kita. Kepanasan. Bilang terima kasih saja cukup bikin senang saya," ungkap Arifin.
Dalam pantauan Republika, setidaknya sudah ada 500 makam khusus Covid-19 di TPU Tegal Alur. Di sekitar makam tersebut memang masih ada lahan tersisa namun perlu disiapkan lebih dulu jika ingin digunakan.
Sementara itu, koordinator gali kubur TPU Tegal Alur, Asep, enggan dimintai keterangan soal kapasitas makam khusus Covid-19. Ia berdalih, data dipegang oleh Suku Dinas Pertamanan dan Pemakaman Jakarta Barat.
"Saya enggak pegang datanya. Pokoknya tiap hari banyak yang masuk, ini sampai siang saya sudah 17 (jenazah)," sebut Asep.
Gubernur Anies Baswedan pada awal September lalu menyebut di Tegal Alur terdapat sekitar 1,5 hingga dua hektare lahan ekstra. Ia meyakini, lahan seluas itu bisa menampung 3.000 jenazah lagi.