REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Widha Meidina (40), warga Perumahan De Flamboyan, Desa Tanjung Selamat, Deli Serdang, terbangun pada Jumat (4/12) dini hari ketika mendengar salah satu dari anak kembarnya berteriak-teriak dari lantai bawah rumahnya. Bimbim, nama panggilan anaknya yang duduk di bangku SMA, membangunkan seisi rumah karena melihat air masuk dari toilet kamarnya.
Widha dan suami langsung turun dari kamar mereka di lantai dua dan bergegas menyelamatkan barang elektronik mereka ke lantai dua.
"Cuma televisi yang berhasil aku bawa, karena air deras sekali masuk dari celah-celah pintu. Barang elektronik lain tak sempat," katanya saat dihubungi Republika.co.id, Jumat.
Ia kemudian melihat dari jendela kamar, air di luar sudah setinggi pagar rumahnya yang berlantai dua. Menurut Widha, tinggi pagar rumahnya itu sekira 2 meter. Waktu itu listrik masih menyala. Ia mulai memfoto area dalam dan luar rumahnya. "Sekitar 10 menit kemudian, listrik padam. Sudah gelap, nggak bisa lagi ambil foto atau video. Hape kami seisi rumah semua lowbat," kata dia.
Widha mengaku panik dan tak bisa mengingat jelas waktu banjir yang begitu cepat. Ia memperkirakan banjir memasuki rumahnya sekitar Kamis malam menuju Jumat dini hari. Andai dia tidur lebih lama, mungkin Widha dan keluarga bisa mengantisipasi datangnya banjir. Sebab grup WA kompleks tempat tinggalnya sudah ada yang mengabarkan debit air di hulu Sungai Belawan yang berada di belakang kompleks mereka sudah tinggi. Itu artinya banjir tinggal menunggu waktu.
Benar saja, air dengan debit yang besar membuat tanggul tembok yang melindungi Kompleks De Flamboyan dari air Sungai Belawan jebol, sehingga perumahan ini menerima dampak terparah. Sebab perumahan ini sangat dekat dengan aliran Sungai Belawan.
Dalam kondisi rumah banjir dan gelap tanpa penerangan listrik, perasaan Widha campur aduk. Ia hanya bisa berdoa sambil menanti fajar. Sebab dalam kondisi tidak tidur, ia mendengar bunyi suara pagar roboh, dan barang-barang yang menabrak dinding. Gemuruh air juga menciutkan hati, walaupun saat itu hujan tidak deras.
"Ada trauma kalau mengingatnya. Sebab, waktu itu dari arah rumah-rumah yang tidak bertingkat, ada yang teriak-teriak minta tolong," kata dia.
Subuh, air mulai surut, tapi menyisakan kerusakan parah. Tembok pagar rumahnya jebol dihantam air. Mobilnya terendam air sampai sampai plafon. Motor suaminya terseret dari pekarangan rumah, tapi masih bisa diselamatkan. Tak ada yang bisa dilakukan karena lumpur menggunung dan air bersih tak mengalir.
"Sekitar pukul 7.00 pagi, kami diangkut keluar kompleks dengan truk tentara," kata Widha yang bersama suami dan tiga anaknya kini menginap di tempat tinggal orang tuanya di Binjai, sekitar 17 km dari rumahnya yang diterjang banjir.
Widha berharap air bersih bisa segera mengalir di kompleksnya yang selama ini menggunakan air PDAM. "Biar bisa membersihkan rumah," kata dia.
Banjir di Kompleks De Flamboyan mengakibatkan enam orang hilang. Hingga Jumat sore, lima dari enam orang hilang tersebut ditemukan, tapi dalam kondisi meninggal dunia.