REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA -- Sebuah kelompok hak asasi Rohingya yang berbasis di Eropa pada Sabtu menyatakan keprihatinannya terkait rencana Bangladesh untuk merelokasi lebih dari 100.000 pengungsi Rohingya ke sebuah pulau terpencil.
"Kami mendesak masyarakat internasional, termasuk pemerintahan Amerika Serikat yang baru terpilih, negara-negara Asia Selatan, kelompok masyarakat sipil dan organisasi internasional untuk membantu dan membujuk pemerintah Bangladesh segera menghentikan rencana ini," kata Dewan Rohingya Eropa dalam sebuah pernyataan.
Mencontohkan permukiman darurat untuk lebih dari 1 juta orang Rohingya tanpa kewarganegaraan di distrik Cox's Bazar di bagian selatan Bangladesh, otoritas negara itu telah mulai memindahkan 100.000 pengungsi Rohingya ke Bhashan Char, sebuah pulau terpencil yang rawan topan dan bencana alam lainnya.
Meskipun ada protes keras dari komunitas internasional dan pembela hak, Bangladesh pada Jumat (4/12) telah mulai memindahkan gelombang pertama pengungsi Rohingya. Pemindahan itu terdiri atas 1.642 orang ke pulau yang baru muncul 20 tahun lalu di Teluk Benggala dan tidak pernah dihuni.
Rencananya 3.500 pengungsi lain akan dipindahkan ke pulau itu minggu ini dan relokasi diharapkan selesai dalam seminggu, kantor berita Bangladesh Sangbad Sangstha melaporkan, mengutip sumber angkatan laut.
Namun, Dewan Rohingya Eropa mengatakan: “Setiap tahun, Bhashan Char tetap terendam air hujan selama beberapa bulan dan Rohingya yang rentan akan semakin terpinggirkan jika mereka dipaksa pindah ke tempat itu”.
Mengutip badai sebagai "kejadian biasa" di daerah pulau, ia menambahkan: "Kami sangat menentang rencana relokasi ini […] dan jika pengungsi Rohingya dipindahkan ke sini, maka mereka akan menghadapi bencana alam yang tak terbayangkan".
Panggilan untuk repatriasi damai
Badan HAM tersebut juga menyarankan Bangladesh untuk lebih memperhatikan pemulangan Rohingya secara damai dan berkelanjutan ke tanah kelahiran asli mereka di Negara Bagian Rakhine Myanmar.
“Bangladesh berusaha untuk memulai repatriasi pengungsi (Rohingya) ke Myanmar di bawah kerangka kerja bilateral November lalu, tetapi tidak ada pengungsi yang mau kembali karena kurangnya kondisi aman dan berlanjutnya genosida Rohingya di Myanmar,” katanya.
Menurut Amnesty International, lebih dari 750.000 pengungsi Rohingya, kebanyakan wanita dan anak-anak, melarikan diri dari Myanmar dan menyeberang ke Bangladesh setelah pasukan Myanmar menyerang komunitas Muslim minoritas itu pada Agustus 2017. Sehingga, angka pengungsi Rohingya melebihi 1,2 juta.
Sementara itu, puluhan pembela dan lembaga hak global lainnya termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, Human Rights Watch, Amnesty International, dan Fortify Rights juga telah mendesak Bangladesh untuk menghentikan rencana relokasi sampai studi kelayakan komprehensif dilakukan atas kelayakan hunian pulau itu.
Namun, Kementerian Luar Negeri Bangladesh dalam siaran persnya pada Jumat mengklaim bahwa pulau seluas 13.000 hektare itu “memiliki semua fasilitas modern, air tawar sepanjang tahun, danau yang indah, dan infrastruktur yang layak serta fasilitas yang ditingkatkan”.
Itu termasuk pasokan listrik dan air yang tidak terputus, petak pertanian, tempat perlindungan topan, dua rumah sakit, empat klinik komunitas, masjid, gudang, layanan telekomunikasi, kantor polisi, pusat rekreasi dan pembelajaran, taman bermain dan bendungan pelindung yang mengelilingi area proyek, tambah kementerian.
Berbicara kepada Anadolu Agency, Louise Donovan, petugas komunikasi Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR), mengatakan: “Kami telah mendengar laporan dari kamp-kamp bahwa beberapa pengungsi mungkin merasa tertekan untuk pindah ke Bhashan Char atau mungkin telah mengubah pandangan awal mereka tentang relokasi dan tidak ingin pindah lagi. Jika demikian, mereka harus diizinkan untuk tetap di kamp ”.
Dia mengatakan bahwa mereka telah menyaksikan "gambar yang meresahkan" dari beberapa pengungsi yang tertekan selama proses relokasi.
“Kami kembali menekankan bahwa semua pergerakan ke Bhasan Char harus sukarela dan berdasarkan konsultasi dan informasi lengkap mengenai kondisi kehidupan di pulau itu dan hak serta layanan yang dapat diakses oleh para pengungsi,” kata Donovan.