Senin 07 Dec 2020 14:25 WIB

Kapankah Seorang Istri Dianggap Wajib Menafkahi Keluarganya?

Seorang istri bisa dianggap wajib menafkahi anaknya dalam kondisi tertentu

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Nashih Nashrullah
Seorang istri bisa dianggap wajib menafkahi anaknya dalam kondisi tertentu. Ilustrasi istri bekerja
Foto: Antara/Hafidz Mubarak A.
Seorang istri bisa dianggap wajib menafkahi anaknya dalam kondisi tertentu. Ilustrasi istri bekerja

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA –  Semua Muslim tentu sudah mengetahui, bahwa nafkah adalah urusannya suami. Lantas sejauh mana istri bisa mengambil peran suami itu? 

Ustadzah Isnawati Lc MAg memberikan penjelasan soal istri yang berperan mencari nafkah.

Baca Juga

Biasanya, istri yang menafkahi keluarganya karena mereka berada dalam keadaan terdesak, di mana suaminya mungkin telah tiada atau miskin. Keadaan mendesak ini menjadikan istri akhirnya banting tulang mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Ustadzah Isnawati menjelaskan, ada dua pendapat di kalangan ulama ihwal apakah istri bertanggung jawab menafkahi keluarga jika dalam keadaan mendesak. 

Pendapat pertama datang dari mayoritas ulama fiqih seperti ulama Mazhab Hanafi, Mazhab Asy-Syafii, Mazhab Imam Ahmad dan juga Ibnu Al-Mawaz dari Mazhab Maliki. 

Pendapat mereka menyatakan, bahwa seorang ibu wajib menafkahi anak-anaknya jika ayahnya tidak ada atau suami dalam keadaan susah. Dalilnya adalah surat al-Baqarah ayat 233: 

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ ۚ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَٰلِكَ

"Kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka (istri-istri) dengan cara yang baik, tidaklah seseorang dibebani lebih dari kemampuannya, tidaklah seorang ibu menderita karena anaknya, dan tidaklah seorang ayah menderita karena anaknya. Dan pewaris berkewajiban seperti demikian." 

“Pada ayat di atas, Allah SWT menyatakan yang artinya, pewaris pun seperti demikian dibebani nafkah. Ibu termasuk pewaris, sehingga kewajiban menafkahi anak-anak yatim ini juga menjadi kewajiban ibu," jelas Ustadzah Isnawati dilansir dari bukunya berjudul 'Istri Bekerja Mencari Nafkah?', Senin (7/12).

 عن أم سلمة قالت: قلت يا رسول الله هل لي من أجر في بني أبي سلمة أن أنفق عليهم ولست بتاركتهم هكذا وهكذا إنما هم بني قال نعم لك أجر ما أنفقت عليهم

Dalil berikutnya yaitu Hadits Ummu Salamah. Ketika suaminya telah meninggal, beliau datang kepada Rasulullah, lalu bertanya apakah jika beliau menafkahi anak-anaknya Abi Salamah akan diberikan ganjaran pahala. "Saya bukanlah orang yang meninggalkan mereka dalam keadaan begitu (terlantar), karena mereka juga adalah anak-anak saya," kata Ummu Salamah.

Kemudian Rasulullah SAW bersabda, "Ya, kamu akan mendapatkan ganjaran pahala atas apa yang kamu infaq atau nafkahkan untuk mereka". (HR Bukhari). 

Ustadzah Isnawati mengungkapkan, hadits tersebut menyampaikan bahwa ibu yang menafkahi anak-anaknya ketika ayah mereka telah tiada, akan diberikan pahala. 

Hanya saja hadits ini tidak menjelaskan tentang kewajiban ibu menafkahi anak-anaknya. Artinya, hadits itu menunjukkan dibolehkannya seorang ibu memberi nafkah keluarga, menggantikan posisi ayahnya.

Pendapat kedua tentang istri yang menafkahi keluarga dalam kondisi mendesak, datang dari kalangan ulama Mazhab Maliki. Mereka berpendapat, bagaimana pun kondisinya, seorang ibu tidak wajib menafkahi anak-anaknya.

Adapun dalilnya, adalah Surat Ath-Thalaq Ayat 7, Allah SWT berfirman: 

لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ ۖ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا ۚ سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا

"Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah sesuai kemampuannya. Dan hendaklah orang yang terbatas rejekinya memberikan nafkah dari apa yang Allah berikan padanya. Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan apa yang Allah berikan padanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan".

"Ayat di atas menurut pendapat mereka ditujukan kepada suami, istri tidak masuk di dalamnya yang berkewajiban menafkahi," ujar Ustadzah Isnawati. 

عَنْ عَائِشَةَ ، أَنَّ هِنْدَ بِنْتَ عُتْبَةَ ، قَالَتْ : يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ وَلَيْسَ يُعْطِينِي مَا يَكْفِينِي وَوَلَدِي ، إِلَّا مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لاَ يَعْلَمُ ، فَقَالَ : خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ ، بِالْمَعْرُوفِ

Dalil selanjutnya yang menunjukkan bahwa istri tidak wajib menafkahi keluarga adalah perkataan Rasulullah SAW kepada Hindun, istri Abu Sufyan. Rasulullah SAW berkata, "Ambillah apa yang mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan cara yang baik." (HR Bukhari).

Hadits itu, terang Ustadzah Isnawati, menunjukkan tidak ada kewajiaban bagi seorang ibu menafkahi anak-anaknya ketika ayahnya masih hidup, dan begitupun setelah dia meninggal, hukumnya baku, tetap, tidak berubah sebagaimana hukum asli yang menyatakan kewajiban nafkah adalah tanggung jawab suami.

"Berdasarkan kedua pendapat di atas dan berdasarkan dalil-dalil yang dikemukakan, tidak ada larangan atau keharaman bagi istri untuk menafkahi anak-anak atau keluarganya. Hanya saja, hal itu kembali pada apakah menjadi wajib sebagaimana pendapat jumhur, atau tidak," jelasnya.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement