REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Presiden Mesir, Abdel Fattah al-Sisi, memulai kunjungan ke Prancis untuk menggarisbawahi hubungan yang dekat pada Senin (7/12). Sisi akan diterima dengan kemegahan besar dengan upacara penyambutan militer.
Prancis dan Mesir memiliki beberapa kesamaan dalam fokus permasalahan, prihatin dengan kekosongan politik di Libya, ketidakstabilan di seluruh kawasan, dan ancaman dari kelompok-kelompok jihadis di Mesir. Kedua negara telah memupuk hubungan ekonomi dan militer yang lebih erat selama Sisi naik ke tampuk kekuasaan.
Tapi, Pemerintah Presiden Emmanuel Macron pada November mengkritik Mesir karena penangkapan anggota Inisiatif Mesir untuk Hak Pribadi (EIPR) setelah mereka memberi pengarahan kepada para diplomat senior di Kairo. Langkah itu pun langsung mendapat teguran keras.
"Presiden...jelas akan terus mengungkapkan posisinya tentang masalah ini," kata seorang pejabat kepresidenan Prancis.
Paris dinilai melihat sinyal positif setelah pembebasan pejabat EIPR beberapa jam sebelum Sisi datang ke Prancis. "Ini adalah kemitraan demi stabilitas kawasan," ujarnya.
Organisasi hak asasi manusia menuduh Macron menutup mata terhadap pelanggaran kebebasan yang meningkat oleh pemerintah Sisi menjelang pemerintahan baru Amerika Serikat. Pejabat Prancis menolak itu dan mengatakan Paris mengikuti kebijakan untuk tidak mengkritik negara secara terbuka atas hak asasi manusia agar lebih efektif secara pribadi berdasarkan kasus per kasus.
Hubungan baik antara Prancis dan Mesir berlangsung sejak lama. Antara 2013-2017, Paris adalah pemasok senjata utama ke Kairo, tetapi kontrak tersebut tidak berjalan, termasuk kesepakatan untuk lebih banyak jet tempur Rafale dan kapal perang yang berada pada tahap lanjutan. Para diplomat mengatakan bahwa hal itu berkaitan dengan masalah pembiayaan, sama halnya dengan tanggapan Prancis terhadap masalah hak asasi manusia.
Rekomendasi parlemen Prancis kepada pemerintah pada November bertujuan untuk memperkuat pengaturan atas penjualan senjata di luar negeri, menyoroti kesepakatan dengan Mesir. Laporan itu mengatakan beberapa peralatan yang dijual digunakan untuk tindakan keras internal.