Senin 07 Dec 2020 18:50 WIB

Vaksin Covid-19 Belum Tentu Dibagikan Merata di Indonesia

Pemerintah tak bisa terapkan standar WHO terkait rasio penduduk yang harus divaksin.

Petugas menyemprotkan cairan desinfektan kontainer berisi vaksin COVID-19 setibanya, di Kantor Pusat Bio Farma, Bandung, Jawa Barat, Senin (7/12/2020). Vaksin COVID-19 produksi perusahaan farmasi Sinovac, China tersebut disimpan dalam ruangan pendingin dengan suhu 2-8 derajat celcius, selanjutnya akan dilakukan pengambilan sampel untuk pengujian mutu oleh tim dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Bio Farma.
Foto: MUKHLIS JR/ANTARA
Petugas menyemprotkan cairan desinfektan kontainer berisi vaksin COVID-19 setibanya, di Kantor Pusat Bio Farma, Bandung, Jawa Barat, Senin (7/12/2020). Vaksin COVID-19 produksi perusahaan farmasi Sinovac, China tersebut disimpan dalam ruangan pendingin dengan suhu 2-8 derajat celcius, selanjutnya akan dilakukan pengambilan sampel untuk pengujian mutu oleh tim dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Bio Farma.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dessy Suciati Saputri, Dadang Kurnia, Bowo Pribadi, Silvy Dian Setiawan, Arie Lukihardianti, Antara

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy menyampaikan, pemerintah tak bisa sepenuhnya menerapkan standar WHO terkait rasio jumlah penduduk yang harus mendapatkan vaksin Covid-19. Pemerintah mengasumsikan tidak seluruh wilayah Indonesia terpapar Covid-19 dengan intensitas yang sama.

Baca Juga

Karena itu, pemerintah akan menentukan prioritas wilayah mana saja yang akan mendapatkan program vaksinasi nantinya. Hal ini disampaikan Muhadjir dalam acara Pengadaan dan Tindak Lanjut Kedatangan Vaksin Covid-19, Senin (7/12).

“Karena itu saya mohon nanti mendapatkan perhatian terutama di dalam menetapkan poin peta siapa saja yang harus divaksin dan siapa yang boleh dianggap tidak berisiko kalau seandainya tidak divaksin, terutama berkaitan dengan lokasi atau tempat di mana mereka berada,” jelas Muhadjir.

Selain itu, Muhadjir juga meminta agar pemberian vaksin dilakukan dengan mempertimbangkan tingkat mobilitas penduduk dari satu tempat ke tempat yang lain. Lebih lanjut, ia menjelaskan, sesuai rekomendasi dari Komite Penasehat Ahli Imunisasi Nasional, prioritas imunisasi nanti akan diberikan kepada para petugas yang bekerja di garis terdepan seperti petugas medis dan petugas non-medis termasuk TNI dan Polri.

Kemudian juga kelompok risiko tinggi yakni para pekerja, termasuk para pedagang pasar, pelayan toko, dan pekerja di sektor perusahaan industri. Selain itu, mereka yang masuk dalam kelompok tracing dan kontak kasus Covid-19 serta administrator pemerintahan yang memberikan pelayanan publik juga akan mendapatkan prioritas imunisasi.

“Itulah yang akan dilakukan vaksinasi prioritas,” tambahnya.

Berdasarkan amanat Presiden Joko Widodo (Jokowi), pelaksanaan vaksin corona harus diutamakan pada daerah-daerah yang kemungkinan mengalami penumpukan partikel virus. Sebab, kata dia, sebaran Covid-19 di Indonesia memang tidak merata di seluruh daerah.

“Sehingga penanganan vaksin nanti betul-betul efisien, tidak asal hantam rata, tapi betul-betul terseleksi berdasarkan siapa yang paling berada di garda depan, yang sangat rentan sebagai orang yang terinfeksi maupun sebagai penyebar,” jelasnya.

Program vaksinasi ini dilakukan untuk menurunkan angka kesakitan dan angka kematian akibat Covid-19. Selain itu, vaksinasi dilakukan untuk mencapai kekebalan kelompok guna melindungi kesehatan masyarakat secara keseluruhan terkait dengan ancaman Covid-19.

“Serta melindungi dan memperkuat sistem kesehatan secara keseluruhan dan mendorong produktivitas ekonomi dan meminimalisir dampak negatif dari akibat menurunnya atau terjadinya hibernasi ekonomi di negara kita,” kata Muhadjir.

Terkait kehalalan vaksin, kajian dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dan Lembaga Pengkajian Pangan dan Obat-obatan Kosmetik MUI telah selesai dan telah disampaikan untuk pembuatan fatwa serta sertifikasi halal MUI. “MUI telah bekerja keras untuk memberikan fatwanya,” ujar Muhadjir.

Ia mengatakan, berdasarkan fiqih Islam, Covid-19 ini termasuk kategori yang darurat yang harus dihilangkan dengan cara apapun. Jika tak ada satupun vaksin di dunia yang berstatus halal, tak berarti vaksin Covid-19 tersebut tidak boleh dipakai.

“Jadi walaupun itu statusnya tidak halal, kalau itu dimaksudkan untuk menghindari kegawatdaruratan, maka itu wajib digunakan. Karena kematian kedaruratan itu harus disingkirkan menurut hukum agama,” jelasnya. Namun, jika ada vaksin yang berstatus halal, maka vaksin tersebut yang akan menjadi pilihan.

Seiring kedatangan 1,2 juta dosisi vaksin Sinovac ke Tanah Air, sejumlah daerah mulai melakukan pemetaan bagi kelompok prioritas penerima vaksin. Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa mengatakan akan memprioritaskan vaksin Sinovac untuk kabupaten/kota dengan jumlah penambahan kasus positif tinggi, berisiko tinggi penularan, dan populasi padat. Sedangkan daerah lain yang dinilai relatif rendah akan diberikan secara bertahap, sesuai ketersediaan vaksin.

“Untuk kapan akan dimulai, sepenuhnya menunggu aba-aba pemerintah pusat. Yang pasti dari sisi infrastruktur dan SDM Insya Allah Pemprov Jatim telah siap. Mudah-mudahan semua berjalan sesuai dengan rencana dan Indonesia bisa bebas dari Pandemi Covid-19,” kata Khofifah di Surabaya, Senin (7/12).

Khofifah menjelaskan, kesiapan yang sudah dilakukan Pemprov Jatim dalam pelaksanaan vaksinasi Covid-19 antara lain pelatihan tenaga kesehatan vaksinasi covid-19 untuk 968 Puskesmas di Jawa Timur sebanyak 7 angkatan (2.404 orang). Juga dilatih programmer surveilans dan imunisasi di kabupaten/kota masing-masing dua orang.

Gubernur Jawa Tengah mengatakan provinsinya akan mendapatkan jatah sekitar 421 ribu dosis. Dari jumlah jatah vaksin tersebut, Jawa Tengah bakal memprioritaskan pemberian vaksin bagi tenaga kesehatan (nakes). “Yang lain saya minta bersabar dulu,” katanya.

Sedangkan Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X, belum bisa memastikan kapan distribusi vaksin sampai ke DIY. "Ini belum tahu (kapan vaksin akan didistribusikan ke DIY), tapi tidak otomatis vaksin itu datang dan terus dibagikan, kan tidak," kata Sultan.

Menurutnya, tentu ada pengorganisasi di pemerintah pusat sebelum vaksin ini didistribusikan ke daerah. "Saya kira nanti ada proses-prosesnya tersendiri, bagaimana pengorganisasiannya, bagaimana untuk mendesain nurse-nya (tenaga vaksinator) untuk vaksinnya dan siapa saja yang divaksin lebih dulu. Saya kira Presiden mempersiapkan itu," ujarnya.

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan (Dinkes) DIY, vaksin yang dibutuhkan sebanyak 2,2 juta vaksin. Sehingga, Sultan memperkirakan, kemungkinan DIY baru mendapat jatah vaksin pada awal 2021 mendatang.

Sebab, pemerintah pusat juga mengupayakan 1,8 juta dosis vaksin tiba di awal Januari 2021 mendatang. Sehingga, pihaknya masih menunggu distribusi vaksin dan petunjuk teknis vaksinasi yang akan dilaksanakan nantinya.

"Ini kan (vaksin yang baru datang) hanya berapa (1,2) juta, nanti Januari ada lagi. Jadi kita belum tahu persis (kapan vaksin didistribusikan ke DIY), tapi proses seperti ini akan didesain untuk tidak gagal. Saya bisa memperkirakan mungkin baru bisa Januari (DIY mendapat distribusi vaksin)," jelasnya.

Di Jawa Barat pemerintah akan meprioritaskan vaksinasi Covid-19 kepada warga yang berada di zona merah atau daerah dengan risiko penularan Covid-19 yang tinggi. "Vaksin ini disampaikan secara bertahap, kami di Jawa Barat mempriortaskan, bahwa daerah dengan yang berisiko tinggi dulu (yang divaksinasi) bila ada kuota vaksin yang disampaikan dari pemerintah pusat," ujar Sekretaris Daerah Jawa Barat yang juga menjabat sebagai Ketua Harian Komite Penanggulangan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Daerah (KPCPED) Jabar, Setiawan Wangsaatmaja.

Menurut Setiawan, sampai saat ini belum diketahui secara pasti berapa jumlah dosis vaksin yang diterima Jabar dari pemerintah pusat. Tapi, pemberian vaksin sesuai kriteria. Yakni, penerima vaksin itu berusia 18-59 tahun, tidak berisiko dan sebagainya.

Setiawan mengatakan, idealnya pemberian vaksin diberikan kepada 60 persen jumlah penduduk di Jabar. Yakni, sekitar 25-26 juta jiwa.

"Dengan kriteria yang disampaikan pertama, kami paham betul ini harus ada prioritas, jadi prioritasnya zona merah, lalu dari zona merah tersebut kita kriteriakan lagi yang paling visible artinya berapa, misal di Bodebek 2,6 juta orang yang kita prioritaskan, kemudian di Bandung Raya," paparnya.

Hari ini Satuan Tugas Penanganan Covid-19 mencatat hingga pukul 12.00 WIB, penambahan konfirmasi positif mencapai 5.754 kasus, sedangkan kasus sembuh bertambah 4.431 orang. Dengan penambahan itu, maka total konfirmasi positif Covid-19 di Indonesia menjadi 581.550 kasus dan kasus sembuh menjadi 479.202 orang.

Sementara itu, kasus meninggal dunia bertambah 127 orang sehingga total kasus meninggal akibat Covid-19 menjadi 17.867 orang. Pada Ahad (6/12) pukul 12.00 WIB hingga Senin pukul 12.00 WIB, jumlah spesimen yang diperiksa oleh 426 laboratorium di seluruh Indonesia mencapai 26.873 spesimen dari 21.572 orang, sehingga total spesimen yang sudah diperiksa mencapai 6.059.415 spesimen dari 4.079.605 orang.

Provinsi dengan penambahan konfirmasi positif tertinggi adalah DKI Jakarta (1.466 kasus), Jawa Barat (1.171 kasus), Jawa Tengah (594 kasus), Jawa Timur (545 kasus), dan Sulawesi Selatan (345 kasus). Sementara itu, provinsi dengan penambahan pasien sembuh terbanyak adalah Jawa Barat (1.065 orang), DKI Jakarta (934 orang), Jawa Timur (441 orang), Bali (313 orang), dan Jawa Tengah (286 orang).

Terdapat dua provinsi yang melaporkan tidak ada penambahan kasus positif, yaitu Jambi dan Gorontalo. Jumlah suspek yang masih dipantau mencapai 72.986 orang, sedangkan konfirmasi positif Covid-19 yang masih diawasi mencapai 581.550 orang.

photo
Vaksin Covid-19 - (Republika)

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement