Selasa 08 Dec 2020 00:54 WIB

Mobilitas Warga Perlu Dibatasi Seperti di Awal Pandemi

Pembatasan mobilitas dinilai perlu agar penularan Covid-19 tidak terus meningkat

Rep: Antara/ Red: Christiyaningsih
Petugas Jogoboro menggunakan pakaian prajurit berjaga di jalur pedestrian Malioboro, Yogyakarta, Ahad (6/12). Petugas Jogoboro bertugas menjaga ketertiban dan menjaga kenyamanan pengunjung di Malioboro. Dan pada masa pandemi Covid-19 ikut mengawasi protokol kesehatan pengunjung. Setiap Sabtu dan Ahad sore Jogoboro akan menggunakan pakaian prajurit.
Foto: Wihdan Hidayat / Republika
Petugas Jogoboro menggunakan pakaian prajurit berjaga di jalur pedestrian Malioboro, Yogyakarta, Ahad (6/12). Petugas Jogoboro bertugas menjaga ketertiban dan menjaga kenyamanan pengunjung di Malioboro. Dan pada masa pandemi Covid-19 ikut mengawasi protokol kesehatan pengunjung. Setiap Sabtu dan Ahad sore Jogoboro akan menggunakan pakaian prajurit.

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA - Epidemiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Riris Andono Ahmad berharap Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta kembali membatasi mobilitas warga seperti pada saat awal pandemi Covid-19. Pembatasan mobilitas dinilai perlu untuk mencegah agar penularan Covid-19 tidak terus meningkat.

"Mobilitas di DIY sekarang relatif tinggi. Kalau kita lihat sekarang di jalan-jalan, di pusat-pusat keramaian sudah relatif padat. Mungkin hampir sama dengan sebelum pandemi," kata Riris Andono saat ditemui di Pusat Kedokteran Tropis, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM, Yogyakarta, Senin.

Baca Juga

Menurut Riris, penambahan kasus Covid-19 di DIY yang pada Ahad (6/12) menyentuh lebih dari 200 kasus dalam sehari merupakan buah dari tingginya mobilitas warga tanpa diimbangi penerapan protokol kesehatan secara konsisten.

"Jadi kurvanya memang akan menanjak. Karena kita tidak berhasil menghentikan penularannya, sehingga yang tertular semakin banyak. Kenapa bisa begitu? Karena mobilitas di DIY itu relatif tinggi," kata dia.

Pemda DIY, menurut dia, sudah waktunya kembali menginjak rem yakni dengan kembali mendorong kegiatan masyarakat sementara waktu dari rumah. Baginya, adaptasi kebiasaan baru juga perlu diwujudkan dengan memberlakukan pelonggaran dan pengetatan mobilitas masyarakat secara bergantian sesuai situasi yang ada.

Menurut Riris, jika penularan telah meluas dan sulit dikendalikan, cara paling efektif adalah mengintervensi dengan menghentikan sesaat mobilitas masyarakat. "Itu menjadi intervensi efektif. Karena begitu dihentikan (mobilitas masyarakat) virus akan kesulitan mencari orang untuk ditulari," jelas dia.

Selama manusia masih berinteraksi dan protokol 3 M (mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak) tidak dipatuhi, risiko penularan akan tetap tinggi. "Itu sebuah keniscayaan. Virus itu tidak jalan-jalan, yang membuatnya bisa berkeliaran ya manusianya," papar Riris.

Ia memperkirakan apabila masyarakat bisa kembali bertahan di rumah minimal selama dua pekan yang merupakan periode infeksi, maka akan signifikan mengurangi laju penularan virus di daerah ini. "Kalau memang bisa membuat orang tinggal di rumah dua pekan saja, itu ada reduksi penularan," katanya.

Sampai Ahad (6/12) Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta mencatat total suspek Covid-19 di provinsi itu mencapai 17.053 orang. Pasien terkonfirmasi positif Covid-19 dalam waktu 24 jam bertambah 224 orang, sehingga total kasus positif menjadi 6.956 kasus.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement