Oleh : Kepala LPMQ Kemenag dan Sekjen OIAA, KH Dr Muchlis M Hanafi
REPUBLIKA.CO.ID, Secara bahasa adzan bermakna al-i`lâm bi al-syay`i (pemberitahuan tentang sesuatu) (Al-Nihâyah fî Ghraîb al-Hadîts wal Atsar, 1/37; Nihâyat al-Muhtâj, 1/398).
Dalam Alquran kata ini digunakan satu kali, yaitu pada QS At-Taubah: 3 terkait dengan pemberitahuan bahwa Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik. Peristiwa itu terjadi pada 10 Dzulhijjah tahun ke-9 saat haji akbar yang dihadiri Rasulullah SAW.
وَأَذَانٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النَّاسِ يَوْمَ الْحَجِّ الْأَكْبَرِ أَنَّ اللَّهَ بَرِيءٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ ۙ وَرَسُولُهُ “Dan (inilah) suatu permakluman daripada Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin.”
Dalam agama, adzan diartikan sebagai “panggilan untuk menunaikan sholat dengan lafal tertentu yang sudah dikenal” (al-Mu`jam al-Wajîz).
Dalam kitab Nihâyat al-Muhtâj didefinisikan dengan “ucapan dengan lafal tertentu sebagai pemberitahuan masuk waktu sholat wajib” (1/399). Kumandang adzan sebagai tanda masuk waktu sholat digunakan dalam Alquran dengan ungkapan nûdiya li al-shalât (dipanggil untuk sholat )
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS Al-Jumu`ah: 9).
Berdasarkan ayat di atas dan hadits Rasulullah agar mengumandangkan adzan sebelum sholat, para ulama bersepakat (ijma) tentang adanya ketentuan (syariat) adzan.
Menurut al-Khatib al-Syarbini, ulama dari kalangan Mazhab Syafi’i, syariat adzan bermula pada tahun pertama setelah hijrah. Ketika masjid telah terbangun dan sholat lima waktu telah ditetapkan, Rasulullah berpikir keras bagaimana cara mengumpulkan orang untuk menunaikan sholat .
Beberapa usulan agar menancapkan bendera, atau membunyaikan lonceng, atau mengangkat api ditolak oleh Rasulullah, karena mirip dengan tradisi penganut agama-agama lain. Sampai akhirnya Abdullah bin Zaid dan Umar bin Khattab bermimpi agar dikumandangkan adzan dengan redaksi yang kita saat ini sebagai tanda masuk waktu sholat.
Rasulullah bersetuju dengan mimpi kedua sahabatnya itu, lalu memerintahkan Bilal untuk mengumandangkan adzan, karena memiliki suara yang kuat dan merdu.
Tentu dasarnya bukan mimpi kedua sahabat tersebut, tetapi ketetapan Rasulullah. Dalam sebuah riwayat disebutkan pada saat yang sama, bahkan sebelum mimpi kedua sahabatnya tersebut, Nabi telah menerima wahyu tentang syariat adzan.
Al-Bazzar meriwayatkan bahwa Nabi telah diperlihatkan dan diperdengarkan adzan saat Isra dan Mi`raj dari atas tujuh lapis langit (Nihâyat al-Muhtâj, 1/399-400). Tentang sejarah adzan dan redaksinya dapat dibaca dalam riwayat Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab al-Musnad dan lainnya.
Selain sebagai tanda masuk waktu sholat , dalam Mazhab Syafi`i, seperti dikemukakan Imam al-Ramli, adzan disunnahkan saat anak baru dilahirkan, saat seseorang sedang merasa risau dan galau, saat menjumpai anak atau hewan nakal, dan lainnya (Nihâyat al-Muhtâj, 1/401).
Dalam tradisi masyarakat Muslim Indonesia adzan juga dikumandangkan saat melepas kepergian seseorang untuk menunaikan ibadah haji ke tanah suci.
Berdasarkan keterangan di atas, adzan adalah salah satu bentuk syiar agama yang memiliki sakralitas dengan redaksi yang sudah dikenal khalayak umum dari masa Rasulullah hingga saat ini.
Dalam redaksi adzan terkandung banyak persoalan akidah. Diawali dengan pengakuan akan kebesaran Allah, dilanjutkan dengan ikrar tauhid dan pengakuan akan risalah kenabian Muhammad SAW.
Setelah itu seruan untuk taat menjalankan ibadah, dalam hal ini sholat dan agar terus meniti jalan keberuntungan, bukan hanya di dunia, tetapi juga di akhirat kelak. Adzan diakhiri dengan mengulang pernyataan tentang kebesaran Allah dan keberhakan Allah untuk disembah, bukan lain-Nya.
Sebagai sebuah syiar agama, adzan harus dijaga dan dipelihara sakralitasnya, dan itu adalah bagian dari tanda ketakwaan hati.
ذَٰلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS Al-Hajj: 32). Keagungan adzan sebagai syiar agama juga dirasakan orang yang mengumandangkannya (muazin).
Dalam beberapa riwayat dari Rasulullah, muazin akan memeperolah ampunan dari Allah sepanjang tarikan suaranya, dan alam semesta; (dedaunan) yang kering dan yang basah, manusia dan jin, bahkan segala sesuatu di muka bumi akan menjadi saksi pada hari kiamat atas kebaikannya. Sebegitu mulianya adzan dan kedudukan muazin sehingga tidak sepatutnya adzan dipermainkan.