Oleh : Ustadz Yendri Junaidi Lc MA, dosen STIT Diniyyah Puteri Padang Panjang, alumni Al-Azhar Mesir
REPUBLIKA.CO.ID, Penilaian seseorang terhadap sebuah kitab dan penulisnya dipengaruhi banyak hal; latar belakang keilmuannya, informasi yang diperolehnya tentang kitab itu juga penulisnya, seberapa jauh ia memahami kitab itu dan seterusnya.
Biasanya, semakin terkenal sebuah kitab dan penulisnya, semakin banyak pro-kontra tentang kitab itu. Atau sebaliknya, semakin banyak pro-kontra tentang sebuah kitab, semakin ia terkenal.
Kitab Ihya Ulumiddin (pembacaan yang populer Ihya Ulumuddin) yang dikarang Imam Abu Hamid al-Ghazali termasuk di antara kitab yang menimbulkan pro-kontra sejak dulu, bahkan di saat penulisnya masih hidup.
Orang-orang yang melancarkan kritikan terhadap kitab ini bukan orang sembarangan, dan mereka memiliki latarbelakang keilmuan serta mazhab yang berbeda-beda. Sebutlah tokoh-tokoh besar seperti Imam al-Maziri, Abu al-Walid ath-Thurthusyi, al-Qadhi ‘Iyadh, Ibnu Shalah, Ibnu al-Jauzi, Ibnu Taimiyyah, Ibnu al-Qayyim, dan lain-lain.
Sebaliknya, orang-orang yang memuji kitab ini dan mengagungkannya juga tidak kalah banyaknya, bahkan boleh jadi lebih banyak dari mereka yang mengkritiknya.
Pihak yang melancarkan kritikan terhadap kitab Ihya`, sebagian dengan uslub yang berlebihan, tentu memiliki alasan untuk itu.
Secara umum, yang menjadi fokus kritikan mereka adalah warna tasawuf yang sangat kental dalam Ihya` sehingga ada beberapa ungkapan Imam al-Ghazali yang dinilai sudah keluar dari jalur syariat. Di samping itu, banyak hadits yang dicantumkan di dalamnya ternyata lemah, dan bahkan palsu.
Kritikan ini telah dijawab banyak ulama, seperti Imam Taqiyyuddin as-Subki dan putranya Imam Tajuddin as-Subki, Imam Abdul Ghafir al-Farisi, Imam Murtadha az-Zabidi, Imam as-Suyuthi, Imam asy-Sya’rani, Imam Abdullah al-‘Aidarus, dan lain-lain.