REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Perjalanan hijab dalam arti pakaian yang menutup seluruh tubuh wanita, atau kecuali tangan dan wajahnya, pernah mengendur dalam banyak masyarakat Islam sejak akhir abad 19.
Penggunaan hijab juga mendapat pertentangan dari sejumlah negara dunia, namun faktanya penggunaan hijab makin menunjukkan eksistensinya.
Alasan wanita-wanita Muslimah menggunakan hijab pun beragam. Namun yang perlu digarisbawahi adalah bahwa tak bisa dimungkiri, hijab merupakan identitas yang sangat identik sebagai pakaian umat Islam.
Terlepas dari hukum penggunaan hijab yang masuk ke dalam ranah fikih yang kompleks, sisi lain tentang hijab pun nampak menarik untuk dikupas mendalam, yakni soal alasan atau faktor yang memengaruhi Muslimah menggunakan hijab.
Pakar Tafsir asal Indonesia, Prof Quraish Shihab, dalam buku berjudul Jilbab Pakaian Muslimah menjelaskan, dalam dua dekade terakhir saja eksistensi hijab semakin banyak peminatnya. Hal ini juga menjadi semakin marak dan terangkat ke dunia internasional setelah Pemerintah Perancis menetapkan larangan penggunaan-penggunaan simbol agama di sekolah-sekolah Perancis.
Dan salah satu yang dianggap sebagai simbol agama bagi negara itu adalah hijabnya para Muslimah. Pro kontra kebijakan yang diteken Perancis beberapa tahun lalu itu bukan saja muncul dari Perancis, melainkan juga dari negara-negara lain.
Banyak analisis tentang faktor-faktor yang mendukung tersebarnya fenomena berjilbab di kalangan kaum Muslimah. Baik kesadaran beragama atau sekadar menggunakan hijab untuk pemenuhan fashion semata. Namun demikian beliau juga menjabarkan, maraknya penggunaan hijab di kalangan Muslimah bisa jadi karena sikap penentangan terhadap dunia barat.
Di mana barat seringkali menggunakan standar ganda sambil melecehkan umat Islam dan agamanya. Misalnya sebagaimana yang dicontohkan guru, Penulis, dan juga mantan Pemimpin Tertinggi Al-Azhar Mesir, Syekh Abdul Halim Mahmud. Beliau yang merupakan jebolan filsafat di Universitas Sorbone Paris ini mulanya mengenakan pakaian ala barat.
Namun begitu beliau mendengar ucapan yang melecehkan Al-Azhar dari Gamal Abdu Nasser yang ketika itu merupakan Presiden Mesir, Syekh Abdul Halim menanggalkan pakaian Baratnya. Beliau menganjurkan semua civitas akademika Al-Azhar agar memakai pakaian resmi Al-Azhar yakni jubah dengan penutup kepala berwarna merah dan putih.
Di sisi lain, ada juga yang menduga bahwa pemakaian jilbab adalah simbol pandangan politik yang pada mulanya diwajibkan kelompok-kelompok Islam politik. Tujuannya guna membedakann sementara wanita yang berada di bawah panji-panji kelompok-kelompok itu dengan wanita-wanita Muslimah lain atau yang non-Muslimah.
Lalu kelompok-kelompok itu berpegang teguh dengannya sebagai simbol mereka dan memberinya corak keragaman. Hal itu sebagaimana yang dilakukan oleh sementara pria yang memakai pakian longgar dan panjang (ala Mesir dan Arab) atau ala India dan Pakistan. Sehingga diduga bahwa itu adalah pakaian Islami.