REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pihak Tentara Nasional Indonesia (TNI) membantah dugaan keterlibatan mereka dalam penanganan penyidikan peristiwa bentrok antara kepolisian dengan anggota Front Pembela Islam (FPI). Kehadiran Panglima Kodam Jaya saat konferensi pers di Polda Metro Jaya disebut untuk melihat dan memberikan dukungan penuh kepada Polri dalam penegakan hukum.
"Dugaan TNI turut diperankan dalam penanganan penyidikan tindak kejahatan adalah tidak benar," ungkap Kepala Penerangan Kodam (Kapendam) Jaya, Letkol Arhanud Herwin Budi Saputra, dalam pernyataan pers, Rabu (9/12).
Dia menjelaskan, TNI dalam hal ini Kodam Jaya memang tidak penah diturutsertakan atau dilibatkan dalam proses penyidikan tindak kejahatan sipil yang terjadi di masyarakat. Sesuai Pasal 1 angka 1 KUHAP, kata dia, penyidik adalah pejabat polisi Republik Indonesia dan pejabat PNS tertentu sesuai undang-undang (UU).
Selanjutnya dia menerangkan soal kehadiran Pangdam Jaya di Polda Metro Jaya saat konferensi pers tentang peristiwa baku tembak yang mengakibatkan enam anggota Laskar FPI meninggal dunia itu. Menurut dia, kapasitas Pangdam Jaya saat itu, yakni untuk melihat dan memberikan dukungan penuh kepada Polda Metro Jaya dalam penegakan hukum.
"Terhadap adanya aksi melawan hukum yang dilakukan oleh oknum FPI yang mana dalam aksinya membawa senjata tajam dan senjata api ilegal saat melakukan pengawalan dan pengamanan MRS (Rizieq)," jelas dia.
Herwin menerangkan, Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI yang berisi tentang sana tugas pokok TNI. Tugas pokok itu, yakni menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
"Serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara," kata dia.
Kemudian, berdasarkan Pasal 7 ayat (2) huruf b angka 10 tugas pokok TNI adalah operasi militer selain perang atau OMSP. Tugas pokok yang diatur dalam ketentuan tersebut ialah membantu Polri dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam UU.
"Dalam hal ini kehadiran Pangdam Jaya untuk tetap membantu Polda Metro Jaya, guna mengantisipasi terjadinya eskalasi gangguan keamanan dan ketertiban di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya," kata dia.
Sebelumnya, Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menyayangkan keterlibatan Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurachman dalam keterangan pers oleh Polda Metro Jaya terkait meninggalnya enam anggota FPI simpatisan Habib Rizieq Shihab (HRS), Senin (7/12). Muhammadiyah menilai TNI keluar fungsi dan tugas utamanya.
"Menyayangkan keterlibatan Pangdam Jaya dalam proses penjelasan peristiwa kematian enam anggota FPI oleh pihak Kepolisian," kata Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, Trisno Raharjo dalam jumpa pers yang didampingi Ketua Majelis Hukum dan HAM Muhammadiyah Busyro Muqoddas, Selasa (8/12).
Muhammadiyah menilai, hal ini menguatkan dugaan TNI turut diperankan dalam penanganan penyidikan tindak kejahatan, yang berarti TNI telah keluar dari fungsi dan tugas utama TNI. Dalam keterangan persnya, Muhammadiyah berharap masyarakat mendapatkan seluruh informasi sebagai perwujudan hak keterbukaan informasi terhadap segala proses yang dilakukan pihak kepolisian dalam menangani perkara ini dan tim yang telah bekerja dari Komnas HAM.
"Kami berharap masyarakat tetap tenang dan tidak terprovokasi oleh upaya apapun guna menjaga ketertiban dan keamanan bersama sambil menanti langkah-langkah yang pasti dari semua yang berkepentingan dengan penegakan hukum," ujarnya.
Sama seperti usulan sebelumnya, Muhammadiyah menyebut peristiwa ini sebagai pengulangan terhadap berbagai peristiwa meninggalnya warga negara akibat kekerasan dengan senjata api oleh petugas negara di luar proses hukum yang seharusnya. Busyro Muqoddas bahkan menyoroti peristiwa kematian akibat senjata api misalnya terhadap Pendeta Yeremias Zanambani di Papua, kematian Qidam di Poso, dan lainnya.
Muhammadiyah menekankan, pengungkapan kematian warga negara tersebut tanpa melalui proses hukum yang lengkap dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Bahkan, tim independen yang sebaiknya dibentuk khusus oleh Presiden untuk mengungkap secara jelas duduk perkara kejadian sebenarnya.
"Pembentukan tim independen seyogyanya diberikan mandat untuk menguak semua peristiwa di Indonesia dengan melakukan investigasi dan pengungkapan seluruh penggunaan kekerasan dengan senjata api oleh aparat penegak hukum, polisi dan atau Tentara Nasional Indonesia di luar tugas selain perang," kata Busyro menegaskan.