REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Perusahaan Israel yang beroperasi di wilayah Palestina yang diduduki akan mengekspor produk-produknya ke Uni Emirat Arab (UEA). Liga Arab telah menyatakan bahwa produk dari wilayah terkait ilegal.
"Perusahaan pemukim yang memproduksi anggur, tahini, minyak zaitun, dan madu telah menandatangani kesepakatan dengan perusahaan distribusi Dubai FAM Holding untuk mengekspor produk mereka ke UEA," kata surat kabar Israel Jerusalem Post dalam laporannya pada Selasa (8/12). Jerusalem Post mengutip keterangan dari dewan permukiman Israel di utara Tepi Barat.
Sebelumnya Bahrain pun mengatakan akan melabeli produk yang diproduksi di wilayah pendudukan, yakni Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Dataran Tinggi Golan, sebagai buatan Israel. "Tanpa merinci detail dan garis perbatasan, produk atau layanan Israel akan diperlakukan seperti Israel. Kami akan mengidentifikasi mereka sebagai produk Israel," kata Menteri Perindustrian, Perdagangan, dan Pariwisata Bahrain Zayed bin Rashid Al Zayani pada 3 Desember lalu.
Dia menyebut tidak akan ada pembatasan atau perlakuan khusus, termasuk aturan tertentu, untuk bisnis Israel. "Kami akan memperlakukan perusahaan Israel seperti yang kami lakukan kepada perusahaan Italia atau Jerman atau Saudi, dalam hal ini. Orang Israel disambut seperti perusahaan internasional lainnya di Bahrain," ucapnya.
Pada 15 September lalu Menteri Luar Negeri UEA Sheikh Abdullah bin Zayed Al Nahyan, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, dan Menteri Luar Negeri Bahrain Abdullatif bin Rashid Al Zayani telah menandatangani Abraham Accord di Gedung Putih, Amerika Serikat (AS). Momen itu menjadi penanda resminya perjanjian damai antara ketiga negara.
Presiden AS Donald Trump turut menyaksikan penandatanganan perjanjian bersejarah tersebut. Dia mengapresiasi keputusan UEA dan Bahrain untuk melakukan normalisasi diplomatik dengan Israel. Menurutnya hal itu akan mengakhiri perpecahan dan konflik yang telah berlangsung selama beberapa dekade di kawasan. Kesepakatan normalisasi dipandang akan membawa "fajar baru Timur Tengah".
Palestina mengecam dan mengutuk kesepakatan normalisasi diplomatik tersebut. Palestina memandangnya sebagai sebuah pengkhianatan terhadap perjuangannya memperoleh kemerdekaan.