REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ikon penyanyi rock Bob Dylan dan Stevie Nicks menjual seluruh katalog lagunya. Hal itu tentu mempengaruhi jagat industri musik. Pada Senin (8/12) bisnis rekaman dihebohkan dengan kabar bahwa Dylan menjual seluruh hak cipta karya-karyanya selama enam dekade kepada Universal Music Group (UMG) lebih dari 300 juta dolar AS atau Rp 4,2 triliun, New York Post mewartakan, Rabu (9/12).
CEO Universal Music Publishing Group, Jody Gerson, dilansir CNN, Selasa (8/12), mengatakan bahwa di tengah pandemi COVID-19, industri musik tetap bergeliat dengan bantuan platform musik digital. Langkah Universal mengakuisisi seluruh karya Bob Dylan adalah cara paling efektif untuk tetap bertahan di tengah persaingan.
"Mewakili karya dari salah satu penulis lagu terhebat sepanjang masa - yang kepentingan budayanya tidak dapat dilebih-lebihkan - merupakan hak istimewa dan tanggung jawab," kata Gerson.
Bob Dylan memiliki sejumlah hits, di antaranya "The Times The Are a-Changin'," "Like a Rolling Stone", dan "Mr. Tambourine Man". Awal tahun ini, musisi 79 tahun itu baru saja merilis sebuah single berjudul "Murder Most Foul".
Bagi para pencinta lagu-lagu Dylan, tak ada perubahan berarti dari kesepakatan bisnis itu. Lagu-lagu Dylan tetap bisa diakses melalui berbagai layanan streaming musik. Namun, uang yang mengalir kini akan mengarah pada Universal.
Kabar Dylan melepas hak atas karya-karyanya itu muncul hanya beberapa hari setelah Stevie Nicks melepas 80 persen bagiannya dalam hak penerbitannya-baik untuk Fleetwood Mc dan karya-karya solonya. Nicks melepas hak atas karyanya kepada Primary Wave senilai 100 juta dolar AS (Rp1,4 triliun).
Meskipun setiap kesepakatan berbeda, menjual hak cipta artinya pembeli bisa menggunakan sebuah karya yang dibeli untuk tujuan pemasaran apa pun (seperti iklan TV) dan, dalam beberapa kasus, memberikan hak untuk royalti penulisan lagu. Beberapa kesepakatan, seperti yang dibuat oleh Nicks juga menyertakan hak untuk menggunakan hal-hal seperti nama dan foto.