REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Kepala hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Rabu (9/12) bergabung mendesak Prancis untuk menarik rancangan undang-undang (RUU) keamanan global yang kontroversial. RUU itu melarang masyarakat merekam dan menyebarkan video dan foto yang mengidentifikasi petugas penegak hukum.
"Undang-undang itu harus dibahas oleh rakyat Prancis. Namun itu adalah Pasal 24, yang benar-benar kami khawatirkan, dan itulah mengapa kami menyebutkan bahwa harus ditinjau ulang dan saya kira, harus ditarik," kata Bachelet dalam sebuah konferensi pers di Jenewa dilansir Anadolu Agency, Kamis (10/12).
Bachelet berbicara pada pertemuan hibrida di PBB di Jenewa pada malam Hari Hak Asasi Manusia. Bachelet mendesak Prancis dan banyak negara lain untuk secara serius memeriksa praktik penegakan hukumnya, serta praktik diskriminatif sistemik dan bias terhadap kelompok ras tertentu.
"Dan tentu saja, kami mendesak otoritas Prancis untuk menghindari tindakan yang mengakibatkan stigmatisasi seluruh kelompok," kata Bachelet.
Bachelet juga menyerukan langkah aktif untuk memastikan kelompok tidak distigmatisasi atau hak asasi mereka dilanggar karena individu tertentu.
Pasal 24 dari rancangan undang-undang yang diusulkan, dimasukkan atas desakan serikat polisi. Mereka menyebut untuk melindungi mereka (polisi) yang melindungi kita (rakyat) dan akan melarang publikasi gambar polisi atau pasukan penegak hukum lainnya di tempat kerja.
Dalam RUU kontroversial itu juga disebutkan barang siapa yang melanggar aturan itu akan dikenai sanksi satu tahun penjara dan denda sebesar 45 ribu Euro atau 54 ribu dolar AS (Rp 761 juta).
Kasus bermula dari aksi brutal polisi berkulit putih yang memukuli produser musik kulit hitam. Aksi tersebut terekam kamera dan menyebar di masyarakat. Empat orang petugas polisi tersebut kini telah didakwa.