REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Jaksa Mahkamah Pidana Internasional (ICC) Fatou Bensouda mengatakan, dia telah membatalkan penyelidikan awal dugaan kejahatan perang yang dilakukan pasukan Inggris di Irak. Kendati demikian, ia mengaku menemukan dasar logis yang menunjukkan bahwa personel militer Inggris melakukan kekejaman.
"Pemeriksaan pendahuluan telah menemukan ada dasar yang masuk akal untuk percaya bahwa berbagai bentuk siksaan yang dilakukan anggota angkatan bersenjata Inggris terhadap warga sipil di Irak dalam tahanan," kata Bensouda dalam laporannya yang dirilis Rabu (9/12).
Selain menyiksa tahanan, Bensouda juga menemukan dasar untuk meyakini bahwa pasukan Inggris telah melakukan pembunuhan yang disengaja terhadap tujuh tahanan Irak pada 2003. Kendati menemukan dasar tersebut, Bensouda tak melanjutkan investigasinya.
Dia menyebut, Inggris telah mengambil langkah konkret untuk menyelidiki kejahatan yang dilakukan pasukannya sendiri. ICC memang hanya melakukan intervensi jika negara terkait tidak dapat atau tidak mau menindak dugaan kejahatan dan kekejaman.
Amerika Serikat (AS) telah mengecam ICC karena membuka penyelidikan penuh atas kejahatan perang yang diduga dilakukan pasukan AS di Afghanistan. Pemerintahan Donald Trump kemudian menjatuhkan sanksi kepada Bensouda karena investigasi tersebut.
Bulan lalu, sebuah laporan oleh otoritas Australia menyebut pasukan khusus negara tersebut diduga membunuh 39 tahanan tak bersenjata dan warga sipil di Afghanistan. Hal itu dilakukan antara 2005 dan 2016. Sebanyak 19 tentara dan mantan tentara Australia akan dirujuk untuk tuntutan pidana potensial.