Achmad Syalaby Ichsan (Jurnalis Republika)
REPUBLIKA.CO.ID,Khalifah Utsman bin Affan dikepung musuh. Abdullah bin Saba’, lewat tipu muslihatnya, mengerahkan para pemberontak untuk mengepung sosok berjuluk Dzun Nurain itu. Mereka diprovokasi lewat sejumlah berita hoaks. Utsman dituding melakukan nepotisme dan merebut kekhalifahan yang seharusnya menjadi milik Ali bin Abi Thalib.
Di tengah pengepungan yang dilakukan pemberontak Muslim, datang Abu Hurairah menghampiri Utsman. Ketika itu, sosok penyayang kucing ini mengetahui jika salah satu kelompok yang berada di rumah Utsman terkena panah (yang dilepaskan dari luar rumah). Abu Hurairah masuk menemuinya, lalu berkata, "Aku datang untuk menolongmu, dan sesungguhnya situasi sekarang ini benar-benar telah serius, wahai Amirul Mu’minin." Maka Usman berkata, "Hai Abu Hurairah, apakah kamu senang bila kamu membunuh seluruh manusia, sedangkan aku termasuk dari mereka?" Abu Hurairah menjawab, "Tidak." Utsman pun berkata, "Karena sesungguhnya bila kamu membunuh seseorang lelaki, maka seolah-olah kamu telah membunuh manusia seluruhnya. Maka, pergilah kamu dengan seizinku seraya membawa pahala, bukan dosa."
Begitulah Utsman. Kelembutan hatinya membuat dia amat berhati-hati dalam menggunakan kekuasaan. Padahal, Utsman sedang berhadapan dengan maut. Para pengunjuk rasa sudah mengancam nyawanya. Jikalah mau, Utsman bisa bertitah agar para sahabat dan pasukannya untuk mengejar dan membunuh para pemberontak. Sebagai khalifah, dia amat mampu melakukan itu. Hanya saja, Utsman sadar jika mereka terprovokasi oleh hoaks kaum munafik. Utsman tidak rela jika tangannya bersimbah darah nyawa sesama Muslim. Utsman lebih memilih terbuai dalam tadarusnya.
Kisah Utsman ini diceritakan Imam Ibnu Katsir untuk menjelaskan QS al-Maidah ayat 32. "Siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya…”
Jika kita merenungkan ayat ini, amat jelas bahwa Islam melarang apa yang akhir-akhir ini disebut sebagai extrajudicial killing atau juga lazim disebut sebagai extrajudicial execution. Extrajudicial killing adalah pembunuhan oleh aparat di luar proses hukum. Dilansir dari laman Amnesty, extrajudicial executions disebut jelas-jelas merusak hak untuk hidup. Penghilangan atau penyiksaan sebelum dibunuh menjadi contoh lain dari kasus tersebut.
Pada 1978, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sudah menetapkan standar internasional penggunaan kekuatan (bersenjata) oleh penegak hukum. Penggunaan kekuatan tersebut harus dalam kondisi yang luar biasa. Kekuatan mesti digunakan sebagaimana mestinya untuk dua tujuan. Pencegahan kejahatan dan penangkapan terhadap terpidana atau tersangka satu kasus hukum tertentu.
Aturan ini sesuai dengan ayat di atas jika pembunuhan atau penghilangan nyawa tidak bisa dilakukan dengan tujuan sembarang. Pada prinsipnya, Islam melarang pembunuhan. Sayyid Abul Ala Maududi dalam buku Human Rights in Islam menegaskan, berkenaan dengan masalah menghilangkan nyawa sebagai balasan bagi pembunuh atau hukuman karena kerusakan di muka bumi, hanya pengadilan dan hakim yang berwenang memutuskannya. Tidak seorang manusia pun berhak menghabisi orang lain sebagai pembalasan atau kerusakan. Pengadilan ini bahkan dilarang memutus perkara karena latar belakang agamanya apakah dia Muslim atau non-Muslim.
Janganlah pembunuhan yang notabene urusan publik dan menjadi ranah pidana. Di dalam Islam, urusan perdata pun harus melalui pengadilan. Tidak bisa seorang khalifah menggunakan kekuasaannya secara sepihak hanya karena dia penguasa. Kita bisa melihat dalam sejarah saat baju besi Sayyidina Ali bin Abi Thalib diklaim oleh seorang Yahudi. Ali tak bisa langsung serta-merta memerintahkan petugas mengambil baju besi itu meski dia meyakini pakaian tersebut adalah kepunyaannya. Klaim Yahudi itu pun harus dibuktikan ke pengadilan.
Uniknya, Syuraih bin al-Harits al-Kindi RA yang notabene sahabat dekat sang khalifah menjadi hakim perkara itu. Syuraih pun meminta Ali untuk menunjukkan dua saksi yang meyakinkan bahwa baju besi itu adalah kepunyaannya. Ali membawa Hasan dan Husin sebagai saksi. Mengetahui saksi tersebut merupakan anak kandung Ali, Syuraih menolaknya. Dia menyatakan jika kesaksian anak kandung berapa pun jumlahnya tak bisa diterima. Ali tak bisa memberi saksi lain. Syuraih lantas memutuskan jika baju besi tersebut merupakan hak si Yahudi. Apakah Ali marah? Tidak. Ali legawa dan tunduk dengan keputusan hakim tersebut.
Kelembutan Utsman dan kebijaksanaan Ali menjadi contoh bagaimana seharusnya penguasa menggunakan kekuatannya. Mereka harus lebih menahan diri karena ‘dipinjami’ kekuasaan yang bisa jadi merugikan rakyatnya. Apalagi, kekuasaan itu sudah membunuh anak manusia.
Apa yang kita saksikan mengenai peristiwa eksekusi terhadap enam orang oleh kekuatan bersenjata dari aparat keamanan amat disayangkan. Apalagi, insiden itu melibatkan sesama Muslim. Bukankah Rasulullah SAW lewat hadisnya sudah mengingatkan kepada kita: “Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR Nasai, Turmudzi).
Penguasa dan rakyat sudah seharusnya berwelas asih. Nyawa satu manusia terlalu mahal jika dibandingkan hanya dengan sikap kritis terhadap pemerintah. Kita perlu merenungkan kembali lanjutan ayat dari QS al-Maidah 38 di atas. Ayat yang pernah dikutip Majalah Times pada edisi Oktober 2016 itu berbunyi: “Dan barang siapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” Wallahu a’lam.