Warta Ekonomi.co.id, Jakarta
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Siti Alifah Dina mengatakan, pemerintah harus serius membenahi permasalahan yang menghambat perkembangan ekonomi digital. Para pelaku usaha digital masih dihadapkan pada kesenjangan digital dan hambatan berusaha.
Walaupun pengguna internet di Indonesia sudah mencapai 73% pada November 2020, menurut Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJIII), kesenjangan terhadap akses internet masih cukup signifikan. Indonesia berada di peringkat enam dari delapan negara Asean dilihat dari Network Readiness Index 2019, diungguli oleh Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, bahkan Filipina.
Indeks ini mengukur bagaimana teknologi dan masyarakat terintegrasi dalam struktur tata kelola yang efektif, dilihat dari beberapa faktor: teknologi, masyarakat, pemerintahan, dan dampaknya terhadap kondisi ekonomi, kualitas hidup, dan kontribusi terhadap tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) suatu negara.
Baca Juga: Kemenkominfo Resmikan 18 BTS, Internet Cepat Masuk Labuan Bajo
"Mengatasi kesenjangan digital akan berkontribusi salah satunya pada perluasan akses pasar bagi pengusaha mikro di 30% kabupaten/kota yang berada pada wilayah blankspot (tidak ada sinyal atau sinyal maksimal yang dapat diterima hanya 2G) menurut data dari himbara per Februari 2020. Tidak hanya itu, kualitas sumber daya manusia Indonesia di masa yang akan datang juga dapat ditingkatkan. Pandemi telah membuat kegiatan belajar harus dilaksanakan secara daring," terang Dina dalam siaran pers, Kamis (10/12/2020).
Dina kemudian melanjutkan bahwa Kementerian Keuangan dapat mempertimbangkan opsi realokasi porsi fiskal tertentu yang permintaannya berkurang selama pandemi untuk subsidi pemenuhan akses internet melalui kerja sama dengan sektor privat. Misalnya saja subsidi bahan bakar minyak karena selama pandemi banyak yang bekerja di rumah. Tentunya kebijakan ini harus diiringi dengan perhitungan rinci analisis biaya dan manfaat.
Selanjutnya untuk mendukung kemudahan berusaha, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan dapat mempertimbangkan untuk mengevaluasi dan menunda penerapan izin berjualan daring. Amanat ini tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50/2020. Padahal, digitalisasi merupakan opsi adaptasi utama para pelaku usaha, khususnya mikro, di masa pandemi.
Berkaca dari laporan IFC terhadap kendala perizinan untuk perdagangan konvensional atau offline, sebanyak 33% pelaku usaha mikro dan kecil menganggap bahwa proses perizinan terlalu rumit. Sedangkan, 27% pelaku usaha mikro dan kecil menyebutkan bahwa mereka tidak melihat adanya manfaat dari perizinan.
Studi dari Universitas Indonesia juga menjelaskan bahwa pandemi merupakan alasan utama pelaku usaha untuk masuk ke dunia digital. 71% penjual GoFood dan 93% social seller (pengusaha individu/mikro yang memiliki sedikit pengalaman berbisnis dan menargetkan jejaring sosial sebagai konsumen melalui media sosial) menggunakan GoSend.
Di saat yang bersamaan, prospek konsumen digital juga turut meningkat dilihat dari peningkatan penggunaan aplikasi belanja online atau dalam jaringan (daring) sebesar 42%, menurut infografis BPS.
Baca Juga: Belanja Online Kebanjiran Transaksi, Sri Mulyani Minta Tukang Jamu Ikut Jualan Online
"Tercapainya potensi ekonomi digital Indonesia pada 2025 secara merata bergantung pada, salah satunya, kinerja para pemangku kepentingan dalam mengeliminasi beberapa hambatan, di antaranya yaitu tingginya kesenjangan digital serta adanya hambatan berusaha secara digital," tandasnya.
Pada acara Indonesia Fintech Summit, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan bahwa pada 2025, potensi ekonomi digital diproyeksikan sebesar US$133 miliar atau Rp1.862 triliun berdasarkan kurs pada November 2020. Proyeksi ini dihitung berdasarkan pertumbuhan ekonomi digital sebesar 40%, menurut Laporan Google, Temasek, & Bain di 2019.
Tentunya angka proyeksi ini akan berubah jika mempertimbangkan terjadinya pandemi di awal tahun ini. Google, Temasek, & Bain dalam laporannya di 2020 memperbarui proyeksinya menjadi US$124 miliar.