REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana penggabungan usaha PT Bank BRIsyariah Tbk, PT Bank Syariah Mandiri, dan PT Bank BNI Syariah terus dimatangkan. Pengamat Ekonomi Syariah STEI SEBI, Azis Setiawan, mengatakan salah satu langkah penting dan strategis yang perlu didudukkan setelahnya adalah terkait status bank hasil merger atau yang sekarang bernama Bank Syariah Indonesia.
Saat ini, status bank hasil merger masih menjadi anak perusahaan Bank BUMN konvensional. Menurut Azis, status tersebut akan menyulitkan Bank Syariah Indonesia dalam pengambilan keputusan yang lebih mandiri dan kuat. Selain itu secara strategis, Bank Syariah Indonesia juga akan sulit dalam mencari pendanaan dari pemerintah.
"Karena bukan bank BUMN maka akan menyulitkan untuk bisa mengakses langsung Penyertaan Modal Negara (PMN) dan fasilitas-fasilitas pendanaan seperti penempatan likuiditas dana pemerintah yang biasanya lebih diprioritaskan untuk bank BUMN," kata Azis, Jumat (11/12).
Untuk itu, Azis mengatakan ke depannya penting agar statusnya bank syariah hasil merger bisa menjadi bank BUMN, bukan sekedar anak perusahaan. Menurut Azis, rencana strategis ini seharusnya juga masuk dalam rencana jangka pendek paska merger atau dalam proses merger ini.
Dilihat dari skala ekonomis, kata Azis, aset Bank Syariah Indonesia masih terbilang kecil dibandingkan beberapa bank konvensional besar yang rata-rata sudah berada di atas Rp 1.000 triliun. Sehingga kompetisi jangka panjang antara bank syariah dan bank konvensional belum sepenuhnya ideal.
"Dengan demikian, penambahan modal serta peningkatan skala menjadi penting agar Bank Syariah Indonesia bisa naik kelas ke BUKU IV," tutur Azis.
Setelah merger, Bank Syariah Indonesia nantinya akan memiliki aset mencapai Rp214,6 triliun dengan modal inti lebih dari Rp20,4 triliun. Modal inti ini masih membutuhkan peningkatan sekitar Rp10 triliun untuk bisa tembus ke Buku IV.
Hal penting lainnya yang harus diperhatikan jelang merger adalah terkait dengan desain transformasi bank hasil merger. Menurut Azis proses integrasi budaya, sistem, bisnis dan organisasi sebaiknya jangan dilakukan terlalu lama agar tidak pertumbuhan dan ekspansi bank syariah bisa lebih cepat.
Tantangan berikutnya bagi Bank Syariah Indonesia yaitu belum adanya terobosan kebijakan untuk mendongkrak pangsa pasar bank syariah. Ini masih akan menjadi PR besar bagi pemerintah, Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS), otoritas dan pemangku kebijakan lainnya.
Karena tantangan tersebut, Azis memperkirakan, pangsa pasar bank syariah masih akan bertahan dibawah tujuh persen. Hal ini akan berdampak pada ekosistem yang masih tidak menguntungkan untuk akselerasi industri perbankan, keuangan dan ekonomi syariah secara luas.
"Jadi secara umum dalam jangka pendek belum akan terjadi akselerasi peningkatan market share. Tetapi secara kualitas berpotensi akan lebih baik," terang Azis.
Azis mengatakan merger bank syariah ini sendiri pada dasarnya akan memberikan manfaat peningkatan skala ekonomis yang besar, karena akan ada bank syariah yang memiliki posisi masuk dalam jajaran enam besar bank nasional. Ini akan memberikan ruang yang lebih baik untuk bisa berkompetisi lebih baik dalam layanan, jangkauan dan teknologi kedepan.
Adapun rencana merger bank syariah BUMN ini telah mendongkrak saham BRI Syariah (BRIS) selaku bank yang menerima penggabungan. Sepanjang hari ini, saham BRIS menguat signifikan sebesar 19,80 persen ke level tergingginya Rp 1.785 per saham.
Saham BRIS menguat setelah dirilisnya rancangan perubahan struktur organisasi BRI Syariah. Berdasarkan rancangan tersebut bank syariah hasil merger berubah nama menjadi Bank Syariah Indonesia.
"Penyebab menguatnya lebih kepada kepastian dengan didapatnya pernyataan efektif dari OJK. Selain itu, nama juga resmi berubah menjadi Bank Syariah Indonesia," kata Kepala riset Samuel Sekuritas Suria Dharma.