REPUBLIKA.CO.ID, SYDNEY – Seorang pria Australia dari komunitas Muslim Uighur Cina dipertemukan kembali dengan keluarganya, termasuk seorang putra berusia tiga tahun yang belum pernah ditemui. Peristiwa ini dapat terjadi setelah Beijing setuju bahwa mereka dapat meninggalkan Xinjiang.
Sadam Abudusalamu memposting di Twitter foto-foto keluarganya yang tiba di bandara Sydney pada Kamis (10/12). Dia berterima kasih kepada Menteri Luar Negeri Australia, Marise Payne, aktivis hak asasi manusia, "Semua orang yang bekerja sangat keras untuk menyatukan kembali kami," ujarnya dalam keterangan foto tersebut.
Pada 2017, otoritas China melarang istri Abudusalamu, Nadila Wumaier dan putranya, meninggalkan Xinjiang dengan menyita paspor mereka. Peristiwa ini menjadi kasus hak asasi manusia terkenal di Australia.
Abdusalamu datang ke Australia sebagai pelajar lebih dari satu dekade lalu dan menikahi Wumaier di Xinjiang pada 2016. Putra mereka, Lufty, lahir di Xinjiang dan diberikan kewarganegaraan Australia pada 2019, setelah Abdusalamu mendesak pemerintah Australia untuk membantu keluarganya.
Pada Februari tahun ini, Wakil Kepala Misi China di Australia, Wang Xining, mengatakan di Televisi ABC, Wumaier tidak ingin meninggalkan Xinjiang. Namun, Nadila Wumaier memposting foto ke Twitter dengan memegang tanda bertuliskan 'Saya ingin pergi dan bersama suami saya'. Payne mengatakan pada Juli, Kedutaan Besar Australia di Beijing telah secara resmi meminta pihak berwenang China mengizinkan Wumaier, seorang warga negara China, untuk pergi.
Pengacara keluarga, Michael Bradley, mengonfirmasi Lufty dan ibunya telah tiba dari China dua pekan lalu dan telah terbang ke Sydney pada Kamis setelah dikarantina di sebuah hotel di Brisbane.
Bradley mengatakan, Abudusalamu sangat senang melihat istrinya dan bertemu dengan putranya. "Kami sangat senang ini berakhir seperti ini. Ini merupakan kisah yang panjang," katanya.
China telah dikritik di Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa oleh negara-negara lain, termasuk Australia dan Amerika Serikat. Beijing dituduh penahanan sewenang-wenang dan pembatasan kebebasan bergerak Muslim Uighur di Xinjiang dan China pun berulang kali membantah kritik tersebut.