REPUBLIKA.CO.ID, Abdul Qadir bin Muhyiddin al-Hasani (Abd el-Kader ibn Muhieddine) merupakan sosok legendaris dalam sejarah Aljazair. Perjuangannya dalam melawan kolonialisme Prancis bukan hanya menginspirasi rakyat negerinya, melainkan juga kalangan humanis di Amerika dan Eropa, bahkan termasuk Prancis.
Salah satu buktinya, sebuah kota di negara bagian Iowa, Amerika Serikat (AS), di namakan sebagai Elkader untuk mengenang kepahlawanan figur berjuluk Elang Padang Pasir tersebut.
Itulah satu-satunya kota di Amerika Serikat yang nomenklaturnya mengambil dari nama seorang Arab. Prancis mulai merangsek Aljazair terutama sejak 1830-an. Negeri Heksagon dapat melumpuhkan pertahanan Turki Utsmaniyah sehingga berakhirlah masa 313 tahun kekuasaan kekhalifahan Islam itu di wilayah tersebut.
Pada 21 Desember 1847, Amir Abdul Qadir bin Muhyiddin al- Hasani dan sejumlah pengikutnya mendatangi markas Prancis di Aljazair. Ia memberikan kuda perangnya kepada Gubernur Jenderal Henri d'Orleans. Dalam budaya Arab setempat, hal itu menandakan sikap menyerahkan diri kepada musuh.
Ternyata Abdul Qadir tidak jadi diasingkan ke Mesir atau Palestina, seperti yang dijanjikan Jenderal Louis Juchault de Lamoricière sebelumnya. Sang pejuang Aljazair itu justru ditahan di Toulon, Prancis. Lima tahun lamanya syarif keturunan Rasulullah SAW itu diasingkan di negeri penjajah.
Sebenarnya tak hanya Abdul Qadir yang menyuarakan protes. De Lamoricière pun tidak terima dengan keputusan pemerintah pusat yang menempatkan sang Elang Padang Pasir itu di Prancis. Baginya, penunaian janji adalah tanda bangsa yang bermartabat. Dalam suratnya, Abdul Qadir pun berargumentasi tentang nilai-nilai yang sering digembar-gemborkan Prancis tentang peradaban yang tinggi.
Tidak hanya De Lamoricière, Henri d'Orleans pun menaruh respek terhadap Abdul Qadir. Baginya, Muslim tersebut merupakan sosok yang tulus berjuang untuk bangsanya dan teguh berprinsip. Karena itu, putra Raja Louis-Philippe I tersebut menyayangkan sikap pemerintah Prancis yang cenderung terbawa stigma media-media massa saat itu.
Banyak pemberitaan menyebutkan, Abdul Qadir sebagai pemberontak yang berbahaya. Sebagai jalan tengah, otoritas Prancis lantas menempatkannya di Kastil Amboise dengan perlakuan terhormat. Terpenjara bertahun-tahun lamanya tidak membuat mental Abdul Qadir lemah.
Ia banyak menghabiskan waktu dengan membaca dan mengajar para pengikutnya yang turut dalam penahanan. Kondisi negeri asing tempatnya berada pun dicermatinya secara saksama. Sejak 1848, Prancis dilanda revolusi yang menggulingkan kekuasaan aristokrat. Sebagai hasilnya, Republik Kedua pun terbentuk. Louis Napoleon Bonaparte alias Napoleon III naik sebagai presiden.
Pada Oktober 1852, Napoleon III membebaskan Abdul Qadir dari status tahanan politik dengan syarat sang amir tak lagi kembali ke Aljazair. Pejuang Muslim itu menyetujuinya. Ia pun hijrah ke Damaskus melalui Bursa, Turki, pada 1855. Di Suriah, Abdul Qadir semakin menekuni dunia tasawuf.
Ketokohannya tidak hanya diakui para pengikutnya, tetapi juga masyarakat setempat yang multiagama. Sebagai contoh, pada Mei 1860 huru-hara pecah antara orang-orang Druze dan Kristen di Jabal Lubnan. Sekitar tiga ribu orang tewas dalam konflik itu.
Abdul Qadir sudah memper ingatkan otoritas Damaskus akan potensi sebaran kerusuhan. Ia pun meminta para pemuka Druze dan Kristen di kota tersebut untuk terus berupaya menenangkan umat masing-masing.
Ketika akhirnya kekacauan tiba, ia dengan sigap melindungi sekitar 11 ribu orang Kristenbahkan termasuk pejabat konsulat Prancisdari amuk massa. Para pengungsi itu ditempatkan di rumahnya sendiri dan kediaman para pengikut sufi Aljazair tersebut di Damaskus. Heroisme Abdul Qadir yang melintasi batas identitas agama dan bangsa itu mengundang respek banyak kalangan.
Presiden ke-16 AS Abraham Lincoln pernah mengirimkan kepadanya cinderamata berupa sepasang pistol bertatahkan sebagai tanda persahabatan. Vatikan menyematkan Lencana Kehormatan Paus Pius IX untuknya sebagai tanda terima kasih atas jasanya menyelamatkan umat Nasrani dari kerusuhan. Pada 26 Mei 1883, pahlawan bangsa Aljazair ini wafat. Jenazahnya di kebumikan dekat makam salik agung Ibnu Arabi di Damaskus, Suriah.