REPUBLIKA.CO.ID, PEKANBARU -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Riau menyatakan tingkat partisipasi pemilih pada pilkada di Kabupaten Pelalawan dan Rokan Hilir naik dibandingkan pilkada sebelumnya. Padahal, pilkada kali ini digelar di tengah pandemi Covid-19.
Anggota KPU Provinsi Riau Nugroho Notosusanto dalam pernyataan pers, di Pekanbaru, Sabtu (12/12), mengatakan jumlah masyarakat yang menggunakan hak pilih pada Pilkada Kabupaten Pelalawan meningkat dari 69 persen menjadi 79 persen. Sedangkan untuk pilkada di Kabupaten Rokan Hilir (Rohil), partisipasi pemilih meningkat dari 60 persen menjadi 70 persen.
"Ini tidak terlepas dari sinergi semua pihak, termasuk ditopang oleh tingkat kesadaran masyarakat yang semakin membaik. Ini membuktikan bahwa pilkada saat pandemi bisa terlaksana dan berjalan lanjar tentu didukung dengan kedisiplinan dalam menerapkan protokoler kesehatan," kata Nugroho.
Menurut dia, dari sembilan kabupaten/kota yang menggelar pesta demokrasi serentak pada tahun ini, baru tiga kabupaten dan kota yang angka partisipasi pemilihnya sudah ditentukan. Kendati demikian, ia mengatakan ada juga tingkat partisipasi warga yang turun dalam penyelenggaraan pilkada saat pandemi, seperti di Kabupaten Rokan Hulu (Rohul).
"Untuk Kabupaten Rokan Hulu partisipasi pemilihnya turun, tapi tidak signifikan. Dari 72 persen menurun menjadi 71 persen, karena ada salah satu kecamatan di sana tingkat partisipasi pemilihnya di bawah 50 persen, sehingga berkonstribusi terhadap penurunan di Rohul. Untuk enam kabupaten/kota lainnya, kami sedang menunggu," katanya lagi.
Pengamat politik Tito Handoko menilai, peningkatan partisipasi masyarakat dalam pilkada tahun ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya penggunaan platform digital saat berkampanye. Penggunaan media digital dinilai sangat efektif mengingat situasi pandemi mengharuskan peserta pilkada membatasi pertemuan saat berkampanye.
"Saya sempat melihat google trend, penggunaan platform digital meningkat saat pilkada. Ternyata metode ini sangat efisien, juga dapat mengurangi biaya politik jika dibandingkan kampanye akbar," katanya pula.
Menurut analisa Tito, faktor cukup unik berikutnya yang dapat mendongkrak jumlah partisipasi pemilih, yakni pembatasan jumlah pertemuan saat kampaye maksimal 50 orang dalam setiap pertemuan. Jika dibandingkan kampanye akbar, ternyata metode pembatasan jumlah orang yang hadir dalam setiap pertemuan berdampak positif terhadap pesan yang diberikan peserta pilkada kepada konstituennya.
"Dampaknya bagus, karena dengan dibatasi terjadi aksi reaksi dari dialog antara kandidat dengan warga. Pesan juga disampaikan dengan baik, ada komunikasi yang tercipta secara natural dalam pembedahan visi dan misi, sehingga mendorong kesadaran politik dan angka partisipasi publik," kata dia.
Dia mengatakan, kondisi ini cukup unik di tengah kontroversi penyelenggaraan pilkada di tengah pandemi.