Ahad 13 Dec 2020 08:05 WIB

Prancis Kutuk Pembunuhan Jurnalis Iran

Jurnalis Iran, Ruhollah Zam, dieksekusi pada Sabtu (12/12).

Rep: Dwina agustin/ Red: Friska Yolandha
Pemerintah Prancis mengutuk atas pelaksanaan hukuman untuk jurnalis pembangkang Iran, Ruhollah Zam, dieksekusi pada Sabtu (12/12). Dia dihukum karena mengobarkan kekerasan selama protes anti-pemerintah pada 2017.
Foto: .
Pemerintah Prancis mengutuk atas pelaksanaan hukuman untuk jurnalis pembangkang Iran, Ruhollah Zam, dieksekusi pada Sabtu (12/12). Dia dihukum karena mengobarkan kekerasan selama protes anti-pemerintah pada 2017.

REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Pemerintah Prancis mengutuk atas pelaksanaan hukuman untuk jurnalis pembangkang Iran, Ruhollah Zam, dieksekusi pada Sabtu (12/12). Dia dihukum karena mengobarkan kekerasan selama protes anti-pemerintah pada 2017.

"Prancis mengutuk sekuat mungkin pelanggaran serius atas kebebasan berekspresi dan kebebasan pers di Iran ini. Ini adalah tindakan barbar dan tidak dapat diterima yang bertentangan dengan komitmen internasional negara tersebut," ujat Kementerian Luar Negeri Prancis mengatakan dalam sebuah pernyataan.

Baca Juga

Prancis bereaksi dengan penuh amarah atas hukuman gantung terhadap jurnalis yang berbasis di Paris. Keputusan itu dinilai biadab dan tidak dapat diterima serta dinilai bertentangan dengan kewajiban internasional Iran.

Iran mengatakan pada Selasa (8/12), Mahkamah Agung telah menguatkan hukuman mati terhadap Zam, yang ditangkap pada 2019 setelah bertahun-tahun hidup di pengasingan di Prancis. Kanal berita Amadnews miliknya memiliki lebih dari 1 juta pengikut.

"Direktur jaringan kontra-revolusioner Amadnews, digantung pagi ini," ujar siaran televisi pemerintah Iran.

Kelompok advokasi pers Reporters Without Borders (RSF) mengutuk eksekusi tersebut. "RSF marah atas kejahatan baru keadilan Iran dan melihat (Pemimpin Tertinggi Ayatollah) @ali_khamenei sebagai dalang eksekusi ini," cicit grup itu.

Amnesty International mengatakan pihaknya terkejut dan ngeri dengan tindakan Iran. "Kami menyerukan kepada komunitas internasional, termasuk negara-negara anggota Dewan Hak Asasi Manusia PBB dan Uni Eropa, untuk segera mengambil tindakan guna menekan otoritas Iran agar menghentikan peningkatan penggunaan hukuman mati sebagai senjata represi politik," kata kelompok hak asasi manusia itu.

Putra seorang ulama Syiah pro reformasi, Zam melarikan diri dari Iran dan diberikan suaka di Prancis. Pada Oktober 2019, Pengawal Revolusi Iran mengatakan telah menjebak Zam dalam operasi kompleks yang menggunakan tipuan intelijen.

Kantor berita yang dekat dengan Pengawal Revolusi, Nour News, mengatakan pekan lalu, bahwa Zam ditahan oleh agen Pengawal setelah dia melakukan perjalanan ke Irak pada September 2019 dan dibawa ke Iran. Penangkapannya atas dugaan Amerika Serikat, Arab Saudi, dan musuh pemerintah yang tinggal di pengasingan, memicu kerusuhan yang dimulai pada akhir 2017 ketika protes regional atas kesulitan ekonomi menyebar ke seluruh negeri.

Para pejabat mengatakan 21 orang tewas selama kerusuhan itu dan ribuan lainnya ditangkap. Kerusuhan itu termasuk yang terburuk yang pernah terjadi di Iran dalam beberapa dekade dan diikuti oleh protes yang bahkan lebih mematikan tahun lalu terhadap kenaikan harga bahan bakar.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement