REPUBLIKA.CO.ID, RABAT -- Kelompok Islam utama Maroko menolak rencana Rabat untuk menormalkan hubungan dengan Israel, Sabtu (12/12). Sebelumnya Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, mengumumkan kembali berhasil membuat negara Timur Tengah menjalin hubungan diplomatik dengan Tel Aviv pada Kamis (10/12)
Cabang agama dari partai PJD yang berkuasa bersama, Gerakan Persatuan dan Reformasi (MUR), mengatakan, langkah itu tercela dan mengecam semua upaya normalisasi dan infiltrasi Zionis. Sedangkan Partai Islamis PJD lebih bermain aman.
"Amerika Serikat membuat proklamasi penting yang menekankan kedaulatan Maroko atas provinsi selatannya dan membuka cakrawala baru untuk memperkuat posisi Maroko di lingkaran internasional. Itu juga semakin mengisolasi musuh dari integritas teritorial kami,” kata partai Islam itu dalam sebuah pernyataan.
Meski begitu, PDJ telah menyatakan dukungan atas tindakan Raja Mohammed VI yang mendukung perjuangan Palestina sambil menegaskan kembali posisi tegas partai terhadap pendudukan Zionis. Raja Mohammed VI merupakan penentu suara terakhir atas keputusan diplomatik utama.
Menurut sumber dekat, PJD butuh waktu dua hari untuk bereaksi setelah muncul ketidaksepakatan antara pimpinan senior partai. Sehari setelah pengumuman Trump, Adl Wal Ihssane yang dilarang dari Maroko, salah satu kelompok oposisi terbesar di negara itu, mengatakan normalisasi menjadi tusukan dari belakang ke perjuangan Palestina.
Elemen inti dari kesepakatan yang ditengahi oleh Trump adalah pengakuan AS atas klaim kedaulatan Maroko atas Sahara Barat. Perselisihan teritorial yang telah berlangsung puluhan tahun ini membuat Maroko melawan Front Polisario yang didukung Aljazair.