REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Pandemi virus corona jenis baru 2019 (Covid-19) yang berlangsung saat ini terus memukul banyak sektor kehidupan, termasuk media massa. Namun demikian di tengah situasi krisis yang berkepanjangan itu, kekuatan dalam mempercayai Sang Khalik merupakan perisai sejati yang tidak akan lekang diterjang krisis sekalipun.
Tokoh Pembangunan Karakter berbasis spiritual, Ustaz Ary Ginanjar menjelaskan, ketika seseorang dihadapkan pada permasalahan hidup maka alam bawah sadarnya harus bisa memilih fokus yang harus dijalankan. Ketika musibah datang, sejatinya manusia dihadapkan pada dua pilihan.
“Kita mau fokus di mana? Apakah pada kehilangan atau pada solusi?” kata Ustaz Ary dalam sharing session bersama karyawan Republika secara virtual belum lama ini.
Dia memberikan analogi tentang bagaimana seekor monyet di kandang kebun binatang dalam kondisi kelaparan. Ketika ada pengunjung yang menghampiri monyet tersebut, lanjut dia, si monyet diberikan sebuah pisang lantas monyet pun senang. Si pengunjung pun melanjutkan memberikan pisangnya sebanyak tiga kali.
Selanjutnya, Ustaz Ary menceritakan, penjaga kebun binatang yang melihat terdapat tiga pisang pun segera berpikir untuk memberikan dua dari tiga pisang milik si monyet kepada monyet-monyet kelaparan lain yang berada di kandang berbeda. Si monyet yang bersangkutan pun marah, kesal, dan kecewa atas dua pisangnya tadi.
“Si monyet ini fokus pada rasa hilangnya, kehilangan dua pisang. Padahal yang dia lupa, dia masih ada satu pisang dan itu cukup baginya,” kata dia.
Dari kisah tersebut, Ustaz Ary menjabarkan bahwa sejatinya manusia kerap berfokus pada expectation (harapan) dibandingkan dengan apresiasi atas nikmat yang telah diberikan. Pihaknya juga mengigatkan kembali mengenai kisah Nabi Ayyub yang mengalami sakit kulit menahun.
Kala didera penyakit, suatu ketika istri Nabi Ayyub memintanya untuk berdoa kepada Allah SWT untuk mengangkat penyakitnya. Namun Nabi Ayyub berkata: “Aku telah diberi kenikmatan hidup dalam sehat selama 50 tahun, sedang aku barulah diberikan penyakit selama satu tahun. Aku malu untuk meminta dan mengeluh kepada Allah,”.
Kondisi kesadaran spiritual Nabi Ayyub saat itu menurut Ustaz Ary adalah kondisi di mana seseorang telah mengenali dengan kuat Sang Khalik sebagai satu-satunya sandaran dan tujuan hidup. Maka ketika seseorang dalam lingkup apapun tengah didera kesulitan, menurutnya, yang bersangkutan harus berangkat dari The Grand Why. Bukan justru berangkat dari niat untuk mendapatkan pencapaian duniawi yang seakan membahagiakan.
Ustaz Ary pun mengenang bagaimana sebelum dirinya dikenal sebagai seorang motivator dan juga pengusaha yang mampu membangun Menara 165 seperti sekarang, ia mengaitkan erat The Grand Why dalam kehidupan dalam menjalani segala aktivitas. “Saya dulu hanya punya pulpen dan menulis buku ESQ. Siapa sangka? Berangkat dari The Grand Why yang saya percaya itulah, saya dipertemukan Republika. Saya dibantu dan dibesarkan dari media ini,” kata dia.
Pandemi Covid-19 memang bukanlah cobaan yang mudah. Namun demikian pihaknya meyakini, dengan segala tantangan yang dihadapi Republika sebagai sebuah media massa, Republika masih akan tetap menjalani eksistensinya. Sebab ia menilai, hanya Republika lah satu-satunya media nasional yang memiliki dan percaya pada The Grand Why.