Selasa 15 Dec 2020 09:39 WIB

Bali yang Terpuruk dan Aturan Baru Berwisata ke Bali

Pelancong yang terbang ke Bali diwajibkan tes PCR pada H-2.

Jalanan di area turis yang biasanya ramai di Kuta, Bali, kini sepi. Pandemi yang menyebabkan kunjungan turis ke Bali menurun drastis membuat pemilik toko memilih tidak berjualan. Jelang libur akhir tahun, pemerintah menerapkan langkah ketat agar turis bisa berwisata dengan aman dan tidak menyebabkan kenaikan kasus Covid-19.
Foto: EPA-EFE/Made Nagi
Jalanan di area turis yang biasanya ramai di Kuta, Bali, kini sepi. Pandemi yang menyebabkan kunjungan turis ke Bali menurun drastis membuat pemilik toko memilih tidak berjualan. Jelang libur akhir tahun, pemerintah menerapkan langkah ketat agar turis bisa berwisata dengan aman dan tidak menyebabkan kenaikan kasus Covid-19.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rahayu Subekti, Antara

Tempat parkir di toko oleh-oleh Krisna di Gianyar, Bali, yang biasanya menampung puluhan mobil hingga bus, kosong melompong pada tengah hari pekan lalu. Beberapa pegawai toko yang sedang duduk-duduk menunggu pembeli sigap menyambut ketika melihat mobil wisatawan memasuki lapangan parkir yang sepi.

Baca Juga

Setelah berjalan kaki melewati pemandangan sawah asri, tampak pemandangan toko pusat oleh-oleh yang berbeda dari biasanya. Tak tampak seorang pun pengunjung yang bolak-balik melewati rak-rak berisi baju, makanan, produk perawatan kulit, produk kecantikan dan pernak-pernik berjejer rapi di dalam toko megah nan sejuk.

Suasana di dalam toko oleh-oleh ternama yang biasanya penuh sesak wisatawan memuaskan hasrat belanja berganti sepi. Tiada antrean mengular di kasir-kasir yang berderet. Hanya ada satu pegawai yang menjaga kasir. Sisanya berpencar dan membantu segelintir wisatawan domestik yang mampir mencari suvenir.

Meski suasana begitu tak lazim, mengingat toko oleh-oleh ini hampir pasti dikunjungi wisatawan yang ingin membawa buah tangan untuk kerabat dan sahabat di tempat asalnya, namun tetap ada pengunjung yang berbelanja. "Nanti lebih siang biasanya ada rombongan yang datang," kata seorang pegawai Krisna.

Kantin yang berada di luar toko juga tampak lengang, tapi toko-toko yang menjual makanan dan minuman tetap dibuka. Setelah lelah berbelanja, wisatawan bisa jajan dan duduk sejenak untuk beristirahat, menatap pemandangan sawah hijau terbentang di hadapan.

Bisnis oleh-oleh di Bali yang sangat bergantung kepada wisatawan betul-betul terpukul akibat pandemi Covid-19.

Pemilik Krisna Oleh-oleh Khas Bali, I Gusti Ngurah Anom, bercerita mengenai dampak pandemi kepada bisnisnya. Bulan-bulan pertama virus corona melanda, kesedihan dan tekanan betul-betul dia rasakan.

Namun dia tak mau berlama-lama terpuruk. Keluarganya punya latar belakang pertanian, jadi pebisnis yang akrab disapa Ajik memilih menunggu pandemi berakhir dengan mengolah lahan seluas 23 hektare di daerah Bali Utara. Bersama dengan tim, dia mulai berkebun dan menanam aneka tumbuhan, mulai dari kacang, pisang hingga nanas.

Aktivitas barunya membawa berkah. Dari situ dia berpikir untuk menciptakan produk baru yang bisnisnya dia urus dari hulu ke hilir. Lahirlah camilan-camilan baru yang bahannya berasal dari perkebunannya sendiri. Lagipula, camilan merupakan salah satu produk yang digemari pembeli di Krisna.

"Kacang ditanam selama tiga bulan, panen bulan Juli delapan hektare, sekarang Krisna bikin produk baru, produksi kacang kapri, bakpia, pie susu, pia kukus. Saya jadi punya produk Covid baru," tutur dia, saat berbincang di webinar 'Bertahan atau Pasrah? Apa Kata Pengusaha Kecil Sektor Pariwisata di Indonesia? Studi Kasus Labuan Bajo, Bali & Lombok', Rabu (2/12).

Ajik telah mempekerjakan 2.500 karyawan yang tersebar di 32 outlet. Sebanyak 2.000 karyawan sempat dirumahkan selama pandemi karena toko-toko tidak bisa beroperasi. Untungnya, sejak beberapa bulan lalu bisnis kembali merangkak meski belum optimal.

Per November, total karyawan yang kembali bekerja sudah mencapai 60 persen. Itu semua bisa terjadi berkat arus wisatawan domestik yang sudah mulai berani berlibur kembali di tengah kenormalan baru.

Toko ini juga sibuk berbenah dan beradaptasi agar bisa kembali bangkit. Penyesuaian yang dilakukan di Krisna meliputi penerapan protokol kesehatan di seluruh toko, mulai dari wastafel untuk mencuci tangan di area publik, wajib memakai masker, pengukuran suhu tubuh sebelum pembeli masuk hingga penyediaan hand sanitizer.

"Sebelum pandemi omzet luar biasa, di masa pandemi Krisna dan bisnis pariwisata lain terdampak sekali. Sekarang sudah 40 persen, saya optimistis 2021 omzet Krisna kembali lagi ke 100 persen."

Liburan akhir tahun yang biasanya menjadi momen dinanti, kini belum menjadi prioritas banyak orang di masa pandemi. Pemerintah namun tetap melakukan upaya pengetatan masa libur Natal dan Tahun Baru dengan aturan baru. Tujuannya agar wisata akhir tahun tersebut tidak menciptakan klaster baru.

Langkah pemerintah khususnya di Bali adalah dengan memperketat rest area, hotel, dan tempat wisata. “Kami minta untuk wisatawan yang akan naik pesawat ke Bali wajib melakukan tes PCR H-2 sebelum penerbangan ke Bali serta mewajibkan tes rapid antigen H-2 sebelum perjalanan darat masuk ke Bali,” kata Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dalam pernyataan tertulisnya, Senin (14/12) malam.

Untuk mengatur mekanismenya, Luhut meminta Menteri Kesehatan, Kepala BNPB, dan Menteri Perhubungan segera mengatur prosedurnya. Luhut meminta, SOP untuk penggunaan rapid tes antigen segera diselesaikan.

Pengetatan aturan berwisata penting karena data menunjukkan minat liburan ke Bali meningkat. Berdasarkan pencarian di biro perjalanan daring tiket.com, pulau Bali masih menjadi tempat berlibur idaman masyarakat Indonesia karena berada di nomor satu pencarian.

Area Manager East Indonesia tiket.com, Rajasa Oktavio Hadisoemarto, mengatakan pemesanan akomodasi di Bali paling pesat dibandingkan tempat lain di tengah pandemi Covid-19. "Kalau di OTA (online travel agent) dilihat dari penjualan kamar, dari Bali ditutup untuk turis domestik, lalu dibuka per 1 Agustus sampai 31 November, peningkatan 6 kali lipat," kata Rajasa.

Pemulihan pariwisata di pulau Dewata, ujar dia, lebih cepat dari yang diperkirakan. Saat ini orang sudah mulai berani untuk berlibur selama protokol kesehatan betul-betul diterapkan.

Berdasarkan data hingga Senin (14/12), terdapat 15.661 kasus positif Covid-19 di Bali. Kasus sembuh di Bali cukup besar yakni 14.277 orang dan kasus pasien yang masih dirawat sebanyak 917 orang. Sedang kasus meninggal 467 orang. Saat ini Bali menempati provinsi ke-10 dengan kasus terbanyak di Indonesia.

Pandemi memang memukul perekonomian Bali secara signifikan. Ekonomi Bali tercatat minus sudah sejak triwulan pertama tahun ini.

Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali mengumumkan Pertumbuhan Domestik Bruto (PDB) Bali pada kuartal III tumbuh minus 12,28 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Angka tersebut jauh dibanding pertumbuhan ekonomi nasional di kuartal III yang minus 3,49 persen.

Pertumbuhan negatif ekonomi di Bali menjadi kontraksi ketiga di Bali sepanjang tahun 2020, setelah triwulan I ekonomi Bali tumbuh minus 1,14 persen dan di triwulan II tumbuh minus 10,98 persen. Bali yang mengandalkan perekonomiannya dari sektor wisata memang merasakan dampak mendalam akibat pandemi.

Pengetatan di Jawa

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan juga meminta Gubernur Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk mengoptimalkan pemanfaatan isolasi terpusat dan memperkuat operasi yustisi. Hal tersebut dilakukan untuk memastikan pelaksanaan isolasi terpusat dan protokol kesehatan mencuci tangan, memakai masker, dan menjaga jarak di masa libur akhir tahun.

“Pemerintah daerah saya minta juga mengetatkan pembatasan sosial berdasarkan konteks urban dan suburban atau rural,” tutur Luhut.

Dalam konteks perkotaan, pemerintah daerah diminta untuk mengetatkan implementasi kerja dari rumah dan pembatasan jam operasi tempat makan, hiburan, mal hingga pukul 20.00 WIB. Sementara itu, untuk di wilayah pedesaan, pemerintah daerah diminta untuk memperkuat implementasi pembatasan sosial berskala mikro dan komunitas.

Luhut meminta implementasi pengetatan tersebut dapat dimulai pada 18 Desember 2020 hingga 8 Januari 2021 karena peningkatan kasus secara signifikan yang masih terus terjadi pascalibur dan cuti bersama pada akhir Oktober. “Jumlah angka positif dan angka kematian terus meningkat pascalibur di delapan dan 20 provinsi, setelah sebelumnya trennya menurun,” kata Luhut.

Pemerintah juga melarang perayaan tahun baru di tempat umum yang akan mengundang kerumunan. Luhut memint kegiatan yang berpotensi mengumpulkan banyak orang seperti hajatan maupun acara keagamaan dibatasi atau dilarang. Dia mengusulkan agar kegiatan dapat dilakukan secara daring.

Dia menambahkan, TNI dan Polri akan diminta untuk memperkuat operasi perubahan perilaku. “Ini akan didahului dengan apel akbar TNI Polri yang dipimpin oleh Presiden sebagai bentuk penguatan komitmen,” ungkap Luhut.

Luhut menyoroti tren kenaikan di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sumatra Utara, Bali, dan Kalimantan Selatan. Untuk itu, dia meminta Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk mengetatkan kebijakan bekerja dari rumah hingga 75 persen. “Saya juga minta untuk meneruskan kebijakan membatasi jam operasional hingga pukul 19.00 dan membatasi jumlah orang berkumpul di tempat makan, mall, dan tempat hiburan,” ungkap Luhut.

Agar kebijakan tersebut tidak membebani penyewa tempat usaha di mall, Luhut meminta pemilik pusat perbelanjaan melalui Gubernur DKI Jakarta agar memberikan keringanan rental. Begitu juga keringan biaya layanan kepada para penyewa.

“Skema keringanan penyewaan dan biaya layanan agar disetujui bersama antar pusat perbelanjaan dan tenant. Contoh di antaranya prorate, bagi hasil, atau skema lainnya,” tutur Luhut.

Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) berpandangan libur Natal dan Tahun Baru tetap memiliki potensi menimbulkan kenaikan kasus. Ketua Tim Protokol Tim Mitigasi IDI Eka Ginanjar saat dihubungi Republika mengatakan sebab libur masih bisa membuat orang-orang melakukan mobilisasi pergi ke tempat wisata dan berkerumun.

Atau foto bersama dengan keluarga tanpa mengenakan masker karena ingin wajah terlihat, atau makan-makan di restoran atau kafe dengan tidak memakai penutup hidung dan mulut. "Itu rangkaiannya dan akhirnya berpotensi menularkan Covid-19," katanya.

Sebenarnya, Eka melanjutkan, bukan tempat wisata yang menjadi masalah dan menularkan virus. Eka menegaskan, kerumunan apapun yang menyebabkan orang berbondong-bondong dan berkerumun kemudian bisa menyebabkan penularan virus.

Sementara libur panjang menjadi momen masyarakat yang merasakan jenuh kemudian memutuskan bermain ke tempat wisata dan akhirnya menyebabkan kerumunan. "Kemudian ini bisa mengakibatkan penambahan kasus (Covid-19)," katanya.

photo
Efek Buruk Libur Panjang: Masyarakat Mulai tak Patuh Gunakan Masker - (Republika)

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement