REPUBLIKA.CO.ID, KOLOMBO -- Kremasi paksa jenazah Muslim yang meninggal akibat Covid-19 telah memicu kemarahan umat Muslim di Sri Lanka. Selama akhir pekan, anggota masyarakat mengikat ribuan pita putih ke gerbang pemakaman dimana krematorium berada.
Hal itu dilakukan sebagai bentuk protes atas perlakuan yang dinilai kejam dan tidak manusiawi terhadap para korban virus corona. Namun, pita putih itu kemudian dibersihkan kembali oleh pihak berwenang pada Senin pagi (14/12).
Kemarahan meningkat di negara itu setelah setidaknya 15 korban Covid-19 yang merupakan Muslim, termasuk seorang bayi dikremasi. Otoritas kesehatan di Sri Lanka yang mayoritas beragama Buddha bersikeras semua korban harus dikremasi, bahkan jika mereka Muslim.
Kremasi dinilai bertentangan dengan praktik pemakaman dalam Islam. Dalam Islam, jenazah harus dikuburkan dan dibaringkan menghadap kiblat.
Perintah kremasi yang dikeluarkan pada April lalu ini datang di tengah kekhawatiran para biksu Buddha jenazah dapat mencemari air tanah dan menyebabkan virus. Setelah keluarga dari 19 Muslim yang meninggal itu menolak mengklaim jenazah kerabat mereka dari kamar mayat Kolombo, pekan lalu jaksa agung memerintahkan jenazah mereka dikremasi.
Sejauh ini setidaknya 15 orang telah dikremasi, termasuk seorang bayi berusia 20 hari bernama Syekh, meskipun atas permintaan orang tuanya. Keluarga tersebut mengatakan mereka diintimidasi untuk menyetujui kremasi.
Tetapi ketika mereka enggan mengubah pendirian mereka, pihak berwenang melakukan kremasi paksa tanpa partisipasi kerabat manapun. Gambar bayi Syekh yang sedang tidur telah menjadi simbol dari apa yang komunitas Muslim Sri Lanka serta para moderat anggap sebagai perlakuan kejam dan tidak manusiawi terhadap para korban virus corona. Mantan legislator Muslim Ali Zahir Moulana mempertanyakan kremasi bayi tersebut.
"Saya sangat jijik dan patah hati! Berapa banyak lagi kekejaman dan kebiadaban yang harus kita tanggung?! #HentikanKremasiPaksa," kata Moulana di Twitter sambil membagikan foto bayi tersebut, dilansir di TRT World, Selasa (15/12).
Protes juga datang dari kalangan internasional. Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) menyatakan keprihatinannya atas perintah kremasi tersebut. Organisasi beranggotakan 57 negara ini menyerukan agar Muslim Sri Lanka diizinkan menguburkan anggota keluarga mereka sesuai dengan keyakinan agama mereka.
"Melawan praktik ini, yang dilarang dalam Islam, OKI menyerukan penghormatan terhadap upacara pemakaman dalam keyakinan Islam," kata OKI dalam sebuah pernyataan.
Di tengah protes lokal dan internasional yang meningkat itu, negara tetangga Maladewa menyatakan tengah mempertimbangkan permintaan untuk menguburkan Muslim Sri Lanka yang meninggal karena Covid-19 di pulau itu.
Negara kepulauan itu telah mengalami lonjakan kasus Covid-19 sejak Oktober lalu. Jumlah infeksi meningkat hampir 10 kali lipat menjadi total lebih dari 32.790 kasus dan 152 kematian.
Menurut Dewan Muslim Sri Lanka, mayoritas korban virus corona di negara itu menganut Islam, meskipun mereka hanya 10 persen dari 21 juta populasi.
Juru bicara dewan tersebut, Hilmy Ahamed, mengatakan Muslim takut mencari bantuan medis karena mereka tidak ingin dikremasi jika mereka meninggal. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga mengatakan penguburan harus diizinkan jika dilakukan dengan tindakan pencegahan.
Sementara itu, ada ketegangan yang sedang berlangsung antara Muslim dan mayoritas Sinhala, yang sebagian besar beragama Buddha, sejak pengeboman Paskah 2019 yang mematikan.